By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Logo Logo
  • ID
    • EN
    • RU
    • HI
    • PT
    • ES
    • FR
    • PL
  • ID
    • EN
    • RU
    • HI
    • PT
    • ES
    • FR
    • PL
  • Beranda
  • Tentang
  • BlogBlogBlog
    • Taurat
    • Doa
    • Topik Hangat
    • Injil
    • Ibrani
    • Rasul Paulus
    • Maria
    • Sedang dikerjakan
  • Buku
    • Buku
    • Materi Gratis
  • Konferensi
    • Israel Institute of Biblical Studies (IIBS)
    • Israel Bible Center (IBC)
Reading: Pengajaran Yesus tentang Sumpah: Panggilan kepada Kebenaran yang Berakar pada Taurat
Share
Logo Logo
  • ID
    • RU
    • PT
    • PL
    • HI
    • FR
    • ES
    • EN
  • Beranda
  • Tentang
  • BlogBlogBlog
    • Taurat
    • Doa
    • Topik Hangat
    • Injil
    • Ibrani
    • Rasul Paulus
    • Maria
    • Sedang dikerjakan
  • Buku
    • Buku
    • Materi Gratis
  • Konferensi
    • Israel Institute of Biblical Studies (IIBS)
    • Israel Bible Center (IBC)
Follow US
Dr. Eli © All rights reserved
Injil

Pengajaran Yesus tentang Sumpah: Panggilan kepada Kebenaran yang Berakar pada Taurat

Bagaimana mungkin Yesus melarang bersumpah jika Taurat memerintahkannya?

Tammy Yu
Share
SHARE

Pernyataan Yesus dalam Matius 5:34–37, yang merupakan bagian dari Khotbah di Bukit, sering ditafsirkan sebagai larangan total terhadap sumpah, mendorong orang percaya untuk hidup dalam kejujuran yang sederhana : “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak.” Namun, penafsiran ini berisiko menyederhanakan sebuah ajaran yang sebenarnya sangat kaya dan tertanam dalam konteks Yahudi. Yesus tidak memperkenalkan perintah baru tetapi Ia menegaskan kembali dan memfokuskan ulang prinsip-prinsip Taurat tentang kebenaran, kekudusan nama Allah, dan integritas ucapan manusia. Dengan mempelajari praktik sumpah dalam sejarah, dengan latar belakang kitab suci, serta implikasi teologis, kita dapat lebih memahami perkataan Yesus sebagai panggilan untuk membatasi bersumpah, yaitu hanya pada saat keadaan yang luar biasa, bersumpah demi nama Allah hanya bila diperlukan, dan menekankan kejujuran yang tidak dibuat-buat dalam kehidupan sehari-hari.

Konteks Pengambilan Sumpah di Israel Kuno

Di Israel kuno, sumpah dan nazar adalah tindakan yang sangat serius, sering kali melibatkan otoritas Allah sebagai jaminan kebenaran suatu pernyataan atau pemenuhan janji. Taurat memberikan pedoman yang jelas tentang hal ini. Bilangan 30:2 berkata: “Apabila seorang laki-laki bernazar atau bersumpah kepada TUHAN sehingga ia mengikat dirinya kepada suatu janji, maka janganlah ia melanggar perkataannya itu; haruslah ia berbuat tepat seperti yang diucapkannya”. Ayat ini menekankan sifat mengikat dari sumpah, khususnya yang diucapkan demi nama TUHAN. Demikian pula, Keluaran 20:7—hukum ketiga dari Sepuluh Firman—melarang menyebut nama TUHAN dengan sembarangan, termasuk menggunakannya secara sembarangan atau berdusta dalam sumpah. Teks ini menegaskan bahwa sumpah bukanlah perkara remeh; melainkan tindakan kudus yang mencerminkan hubungan perjanjian antara Allah dan umat-Nya.

Namun, pada masa Bait Suci Kedua, praktik pengambilan sumpah menjadi lebih rumit. Sumber-sumber Yahudi misalnya Mishnah (contoh : Shevuot 3–4) menunjukkan bahwa orang sering bersumpah demi sesuatu yang lebih rendah—langit, bumi, Yerusalem, atau bahkan benda pribadi—untuk menghindari sumpah yang berat dengan menyebut nama Allah. “Sumpah pengganti” ini dianggap kurang mengikat, sehingga memungkinkan orang membuat janji dengan celah hukum. Misalnya, bersumpah “demi langit” dipandang kurang wajib dibanding bersumpah “demi TUHAN,” sehingga terbentuk hierarki sumpah yang merusak tujuan aslinya. Praktik ini memupuk ketidakjujuran, sebab orang dapat membuat pernyataan yang terdengar luar biasa tanpa bermaksud untuk menepatinya, dengan dalih teknis untuk menghindari tanggung jawab.

Pengajaran Yesus dalam Matius 5:34–37 menanggapi langsung penyalahgunaan ini. Ia menyebutkan entitas tertentu yang sering dipakai dalam sumpah—“langit,” “bumi,” “Yerusalem,” bahkan “kepalamu sendiri”—dan menyatakan semuanya itu tidak sah sebagai dasar sumpah. Mengapa? Karena semuanya berhubungan erat dengan Allah: langit adalah takhta-Nya, bumi tumpuan kaki-Nya, Yerusalem kota Raja agung, bahkan kepala manusia pun berada di bawah kedaulatan Allah. Dengan bersumpah demi hal-hal itu, orang sebenarnya tetap melibatkan Allah secara tidak langsung, sambil berpura-pura menghindari nama-Nya—sebuah bentuk kemunafikan yang dikecam Yesus. Intinya bukan melarang semua sumpah, tetapi menyingkapkan kesia-siaan sumpah palsu dan mengarahkan kembali orang percaya pada maksud asli Taurat: kejujuran dan hormat pada nama Allah.

Pengajaran Yesus sebagai Kembali kepada Taurat

Jauh dari menghapus sumpah, Yesus justru mengingatkan kembali penekanan Taurat pada integritas. Dalam Matius 5:17, Ia menegaskan: “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya.” Ajaran-Nya tentang sumpah sejalan dengan misi ini. Taurat memperbolehkan dan bahkan mewajibkan orang bersumpah dalam situasi tertentu, seperti dalam perkara hukum (Kel. 22:11) atau komitmen perjanjian (Kej. 21:23–24). Namun, Taurat menuntut agar sumpah diucapkan dengan khidmat dan ditepati dengan setia. Ulangan 6:13 menekankan:“Engkau harus takut akan TUHAN, Allahmu ; kepada Dia haruslah engkau beribadah dan demi nama-Nya haruslah engkau bersumpah.” menekankan bahwa hanya nama Tuhan yang memiliki kewenangan untuk mengikat sumpah.

Larangan Yesus untuk bersumpah “demi langit, bumi, atau Yerusalem” menegaskan kembali prinsip ini. Dengan menyebutkan semua kata pengganti tersebut, Ia membongkar celah hukum yang memungkinkan orang membuat janji yang tidak tulus. Perintah-Nya “janganlah kamu bersumpah sama sekali” bukanlah mutlak, melainkan hiperbolis—gaya bahasa khas pengajaran Yahudi untuk menegaskan suatu hal. Inti dari ajaran-Nya tampak jelas dalam ayat 37: “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih daripada itu berasal dari si jahat.” Frasa “berasal dari si jahat” menunjukkan bahwa sumpah yang berlebihan atau sumpah palsu, lahir dari hati yang menipu, selaras dengan keprihatinan Taurat tentang kebenaran (Im. 19:11–12).

Penafsiran ini didukung oleh ayat-ayat Alkitab lainnya. Mazmur 63:11 menyatakan, “Setiap orang, yang bersumpah demi Dia, akan bermegah, karena mulut orang-orang yang mengatakan dusta akan disumbat,” menegaskan bahwa sumpah yang diucapkan demi nama Allah adalah terhormat jika disertai kebenaran. Demikian pula, Nabi Yeremia memperingatkan tentang sumpah palsu, dengan mengatakan, “Sekalipun mereka berkata: ‘Demi Tuhan yang hidup,’ namun mereka bersumpah palsu” (Yer. 5:2). Ayat-ayat ini menegaskan bahwa masalahnya bukanlah pada tindakan bersumpah, melainkan integritas di baliknya. Dengan demikian, ajaran Yesus memanggil orang percaya dengan standar yang lebih tinggi: berbicara dengan kejujuran sedemikian rupa sehingga sumpah hampir tidak diperlukan lagi.

Sumpah dalam Perjanjian Baru: Teladan Paulus

Perjanjian Baru lebih lanjut menegaskan bahwa ajaran Yesus tidak melarang sumpah secara  mutlak. Rasul Paulus, seorang Yahudi yang taat sekaligus pengikut Kristus, beberapa kali memanggil Allah menjadi saksinya. Untuk mempertahankan integritas apostoliknya, Paulus menulis dalam Galatia 1:20: “Di hadapan Allah kutegaskan: apa yang kutuliskan kepadamu ini benar, aku tidak berdusta.” Demikian pula, dalam 2 Korintus 1:23 ia berkata: “Tetapi aku memanggil Allah sebagai saksiku –Ia mengenal aku– bahwa sebabnya aku tidak datang ke Korintus ialah untuk menyayangkan kamu” Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa Paulus, yang hidup dalam pengajaran Yesus, tidak melihat kontradiksi dalam bersumpah demi Allah pada keadaan luar biasa di mana kebenaran perlu ditegakkan.

Bahkan Yesus sendiri merespons sumpah dalam konteks hukum. Saat diadili di hadapan Imam Besar, Ia diminta bersumpah “demi Allah yang hidup” untuk menyatakan apakah Ia Mesias, Yesus menjawabnya secara langsung (Mat. 26:63–64). Diam-Nya hingga saat itu dan jawaban-Nya yang jujur menunjukkan bahwa Ia menghormati kesakralan sumpah demi nama Allah, meskipun Ia mengkritik penyalahgunaan sumpah secara sembarangan. Peristiwa ini menegaskan bahwa pengajaran-Nya bertujuan untuk membatasi sumpah hanya pada keadaan yang luar biasa, agar sumpah diucapkan dengan hormat dan kebenaran.

Implikasi Teologis: Kebenaran sebagai Cerminan Karakter Allah

Penekanan Yesus pada kejujuran sederhana—“ya, ya” atau “tidak, tidak”—memiliki implikasi teologis yang mendalam. Dalam Khotbah di Bukit, Ia memanggil murid-murid-Nya untuk hidup dalam kebenaran yang melebihi kebenaran orang Farisi (Mat. 5:20), bukan melalui ritual lahiriah, melainkan melalui transformasi batin. Ucapan yang jujur mencerminkan karakter Allah, sebab Allah adalah kebenaran itu sendiri (Yoh. 14:6). Ketika orang percaya berbicara dengan jujur, mereka menunjukkan gambar Allah dan memenuhi panggilan perjanjian untuk menjadi umat yang kudus (Kel. 19:6).

Sebaliknya, penyalahgunaan sumpah selaras dengan “yang jahat,” sebab ia mendistorsi kebenaran Allah. Dalam pandangan Yahudi, kata-kata memiliki kuasa penciptaan, sejalan dengan Firman Allah yang menciptakan dunia (Kej. 1:3). Sumpah dusta atau sembrono menyalahgunakan kuasa ini, merusak kepercayaan dan komunitas. Dengan demikian pengajaran Yesus memulihkan kekudusan perkataan manusia, mendorong orang percaya untuk menyelaraskan ucapan dengan tindakan dan hati mereka dengan kehendak Allah.

Aplikasi Praktis: Sumpah dalam Keadaan Luar Biasa

Walaupun Yesus menekankan kejujuran di atas sumpah, Ia tidak meniadakan kemungkinan sumpah sama sekali. Catatan Alkitab menunjukkan bahwa sumpah tetap diperbolehkan dalam keadaan luar biasa, seperti kesaksian di pengadilan, persetujuan dalam perjanjian, atau momen yang memerlukan penegasan sakral. Namun, sumpah hanya boleh diucapkan demi nama Allah saja, dengan penuh komitmen untuk menepatinya. Prinsip ini tampak jelas dalam Ibrani 6:16–17, yang mencatat bahwa manusia bersumpah demi Allah untuk meneguhkan janji, bahkan Allah sendiri bersumpah kepada Abraham untuk menjamin perjanjian-Nya (Kej. 22:16–18).

Bagi orang percaya masa kini, pengajaran ini menantang kita untuk meninggalkan kebiasaan menggunakan janji atau sumpah secara sembarangan (“Sumpah, pasti kulakukan!”). Sebaliknya, kita dipanggil untuk memiliki integritas dalam perkataan sehari-hari, sehingga ucapan kita dapat dipercaya tanpa memerlukan tambahan sumpah. Dalam situasi luar biasa seperti persidangan di pengadilan atau ikrar kudus (misalnya pernikahan), sumpah tetap diperlukan, asalkan diucapkan dengan penuh hormat dan kebenaran.

Kesimpulan

Pengajaran Yesus tentang sumpah dalam Matius 5:34–37 bukanlah penolakan terhadap sumpah, melainkan pembaharuan dalam praktiknya. Berakar pada panggilan Taurat untuk hidup dalam kebenaran dan menghormati nama Allah, Ia mengkritik sumpah palsu dan penuh tipu daya, dan mendorong orang percaya untuk membatasi sumpah hanya pada keadaan luar biasa dan hanya demi nama Allah. Yang paling utama, Ia meninggikan kejujuran secara sederhana—di mana “ya” berarti ya dan “tidak” berarti tidak—sebagai tanda hati yang diperbarui. Ajaran ini menantang kita untuk mencerminkan kebenaran Allah dalam perkataan kita, membangun kepercayaan dan integritas dalam relasi serta komunitas kita.

Follow US
Dr. Eliyahu Lizorkin-Eyzenberg © 2025. All Rights Reserved.
Ikuti Blog Dr. Eli!
Berlangganan untuk mendapatkan pemberitahuan saat artikel baru diterbitkan.
Tanpa spam, Anda bisa berhenti berlangganan kapan saja.
Welcome Back!

Sign in to your account

Username or Email Address
Password

Lost your password?