Apakah Yesus Membatalkan Hukum Kashrut?
Alasan mengapa sebuah tafsiran Kristen tertentu mengenai Markus 7 sering dianggap sebagai titik balik dalam sejarah Kekristenan mula-mula—dan pada akhirnya menjadi langkah awal perpisahannya dari Yudaisme Kristen maupun Yudaisme secara keseluruhan—berkaitan dengan sebuah asumsi yang keliru bahwa Yesus dalam Injil Markus telah membatalkan penerapan hukum kashrut—yang merupakan salah satu tanda utama ketaatan Yahudi yang tidak terbantahkan.
Salah satu alasannya adalah karena terdapat kesepakatan secara luas bahwa Injil yang pertama kali ditulis adalah Injil Markus, barulah kemudian Injil lainnya ditulis. Banyak yang berpendapat bahwa Injil Matius dan Injil Lukas ditulis berdasarkan Injil Markus, dengan memperbarui serta memperluas dengan penambahan sumber sehingga menjadi Injil versi mereka sendiri. Banyak yang percaya (meski keliru) bahwa Markus adalah seorang non-Yahudi abad pertama, sama seperti audiensnya, sehingga ia dianggap tidak memahami detail yang rumit dari pemikiran maupun praktik Yahudi, karena ia berasal dari luar komunitas Yahudi. Jika ini merupakan pandangan umum para penafsir Kristen mengenai asal-usul Injil Markus, maka masuk akal bila mereka akhirnya menyimpulkan bahwa semua Injil sinoptik tidaklah memiliki asal-usul Yahudi (meskipun hampir tak seorang pun mengatakannya secara gamblang seperti itu).
Dalam bagian buku ini (yang mungkin adalah bagian terpanjang), saya akan berargumen sebaliknya. Markus adalah Injil Yahudi, karena itu ia memberikan dasar yang kuat untuk memahami bahwa Injil-Injil lainnya juga berakar dalam konteks Yahudi. Memang benar Markus menulis ditujukan untuk audiensnya yang Sebagian besar adalah non-Yahudi. Namun, ini sama sekali tidak menutup kemungkinan bahwa—dengan bukti kuat yang akan saya sajikan—Markus memiliki pemahaman mendalam mengenai praktik Yahudi, baik di Galilea maupun di Yudea, dan ia menulis dari dalam komunitas Yahudi, bukan dari luar.
Untuk menyingkap makna Markus 7 yang begitu membingungkan, kita harus menyadari bahwa kita menghadapi tantangan besar. Penyebab utamanya adalah terminologi yang digunakan dalam terjemahan Alkitab sering mencampuradukkan dua sistem dalam Yudaisme yang berbeda menjadi satu. Izinkan saya menjelaskan.
Dalam Yudaisme, terdapat satu sistem kashrut yang menetapkan makanan tertentu “boleh” atau “tidak boleh” untuk dikonsumsi orang Israel. Sistem ini dilakukan berdasarkan sesuatu yang “muttar” (diperbolehkan) dan “assur” (dilarang). Hal ini tidak ada hubungannya dengan kekudusan dan kenajisan. Sistem kedua berkaitan dengan segala macam hal yang “tahor” (tahir) atau “tuma” (najis) karena berhubungan dengan kontak fisik dengan sesuatu yang dapat menyebabkan hilangnya ketahiran/kekudusan atau sebaliknya menjaganya tetap terpelihara.
Saya menggunakan argumen dasar dari Daniel Boyarin :
“Meskipun semua orang Yahudi dilarang makan babi, lobster, campuran susu dan daging, serta daging yang disembelih dengan cara tidak benar, hanya sebagian orang Yahudi, dalam waktu tertentu, yang dilarang makan makanan kosher (=bersih) yang terkontaminasi kenajisan ritual.” (Daniel Boyarin, The Jewish Gospels: The Story of the Jewish Christ [The New Press: New York], 2012, hlm. 113)
Ada sejumlah wawasan penting yang dapat kita peroleh dengan membaca Markus 7 dengan sangat cermat, terutama bila kita menerjemahkan dari teks aslinya – bahasa Yunani – dalam konteks Yahudi dan budaya Injil ini.
Di antara berbagai teks yang membuat banyak orang berpikir bahwa Yesus Kristus membatalkan seluruh hukum mengenai perbedaan antara 1) tahir dan najis, serta 2) kosher (diperbolehkan – halal) dan tidak kosher (dilarang – haram), tidak ada argumen yang tegas seperti Markus 7:18–19, dimana sebagian besar terjemahan Barat, dan juga terjemahan Timur, kita membaca teks seperti terjemahan berikut ini. Di sini, Yesus berbicara kepada murid-murid-Nya, menjawab pertanyaan mereka tentang aturan-aturan Farisi mengenai makanan, dan berkata:
18 “Apakah kamu juga tidak dapat memahaminya? Tidak tahukah kamu bahwa segala sesuatu dari luar yang masuk ke dalam seseorang tidak dapat menajiskan dia, 19 karena bukan masuk ke dalam hati tetapi ke dalam perutnya, lalu dibuang di jamban?” (Dengan demikian Ia menyatakan semua makanan halal”). (Markus 7:18–19)
Hal ini tampaknya sangat jelas. Yesus menjelaskan bahwa hukum kashrut tidak pernah lagi dibutuhkan atau dibenarkan. Ia menggunakan kesempatan itu untuk mengajar umat Israel yang mengikuti Dia untuk hidup setia di hadapan Allah tanpa perlu membedakan antara makanan ‘boleh’ dan ‘tidak boleh’ (hukum kashrut). Tetapi, apakah teologi Kristen benar dalam menafsirkan perkataan Mesias Yahudi seperti ini? Saya yakin kamu sudah menduga bahwa saya akan berargumen sebaliknya. Tolong, dengarkan saya.
Sebelum masuk lebih jauh ke teks Injil Markus, saya ingin membahas sebuah mitos tradisional lainnya tentang orang Farisi dan Yesus. Wajar bagi umat Kristen untuk beranggapan bahwa kaum Farisi adalah kaum konservatif pada masa itu, yang tidak mau mengubah cara hidup lama dan menolak pembaharuan yang disebarkan oleh Yesus. Sementara itu, Yesus dipandang sebagai seorang revolusioner rohani yang memperkenalkan ide baru untuk meningkatkan iman orang Israel ke tingkat yang lebih tinggi, menjauhkannya dari konsep-konsep lama dan praktik-praktik yang ketinggalan zaman.
Namun, kenyataannya justru sebaliknya. Saya akan menunjukkan bahwa gerakan Farisi—bertentangan dengan pandangan tradisional—merupakan gerakan pembaruan dan inovasi, sedangkan Yesus justru lebih konservatif. Pandangan orang Farisi dan Yesus tidak selalu bertentangan. Kadang-kadang, Yesus merasa Ia harus menentang mereka demi menjaga kemurnian tradisi kuno Israel.
Dalam Konteks Yudaisme
Ketika kita melanjutkan pembahasan mengenai Markus 7, kita melihat bahwa Yesus dan murid-murid-Nya tidak jauh dari Herzliya dan Hadera di Israel modern (Markus 6:53), ketika orang-orang Farisi dan beberapa ahli Taurat (perhatikan bahwa Markus tidak menulis “beberapa orang Farisi”, melainkan “beberapa ahli Taurat”) datang dari Yudea untuk mengamati Dia dan murid-murid-Nya (Markus 7:1).
1 Pada suatu kali serombongan orang Farisi dan beberapa ahli Taurat dari Yerusalem datang menemui Yesus. 2 Mereka melihat, bahwa beberapa orang murid-Nya makan dengan tangan najis, yaitu dengan tangan yang tidak dibasuh.
(Markus 7:1–2)
Mereka dengan cepat memperhatikan hal yang jelas: para murid Yesus, di hadapan sang Rabi, makan dengan tangan yang tidak dibasuh. Hal ini menyalahi tradisi tambahan di luar Kitab Suci yang sudah lama dikembangkan oleh orang Farisi.
Meskipun terjemahan “tangan najis” sebenarnya tidak tepat, teks Yunani jauh lebih tepat. Yang disebut sebagai “tangan najis/tidak kudus” itu dalam bahasa Yunani disebut “tangan biasa”. Inilah salah satu bukti pertama bahwa Markus mempunyai pemahaman yang sangat akurat tentang Yudaisme pada zamannya.
Untuk memahami Markus, dan dengan demikian juga memahami Yesus, kita perlu mengenal konsep Yahudi tentang “biasa” dan “kudus”. Salah satu contoh yang mudah dipahami orang Kristen masa kini adalah konsep pekan tujuh hari orang Israel. Dalam bahasa Ibrani (dan juga Alkitab Ibrani), hari-hari dalam seminggu tidak memiliki nama, tetapi hanya diberi nomor. Hari pertama (יום ראשון, yom rishon) adalah hari Minggu, hari kedua (יום שני, yom sheni) adalah hari Senin, hari ketiga (יום שלישי, yom shlishi) adalah hari Selasa, dan seterusnya. Satu-satunya pengecualian dari peraturan ini tentu saja adalah Sabat (שבת). Meskipun ia juga memiliki angka (hari ketujuh) tetapi hari ke-7 memiliki nama khusus, tidak seperti hari yang lain. Allah Israel memerintahkan bangsa Israel untuk “Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat” (Kel. 20:8). Perhatikan bahwa semua hari yang diciptakan Allah adalah baik dan diberkati oleh Allah dalam hal dan dengan cara tertentu, tetapi hanya hari ketujuh yang dipisahkan sebagai hari yang kudus. (misalnya Kej. 1:24–25). Hari Sabat dalam minggu orang Israel tidak hanya baik tetapi juga kudus (makna dasar kekudusan adalah “lain daripada yang lain” dalam arti dipisahkan dari segala sesuatu yang lain).
Orang Farisi mengembangkan ide tentang “tangan biasa” dan “tangan kudus”. Hal ini tidak ditemukan dalam Taurat ataupun seluruh Kitab Perjanjian Lama. Mereka percaya bahwa jika tangan dibasuh, maka mereka mendapatkan status kudus kembali. Kekudusan itu bisa hilang jika tangan menyentuh sesuatu yang najis. Jika itu terjadi, tangan kembali dianggap “biasa”. Inilah tepatnya yang dimaksud oleh Markus 7:2 dalam bahasa Yunani (κοιναῖς – dibaca koinais). Nuansa seperti ini hanya mungkin diketahui oleh seseorang yang benar-benar menguasai praktik dan keyakinan Yahudi, jadi saya menyimpulkan bahwa penulis Injil Markus adalah orang yang sangat paham tentang hal ini.
Dalam bahasa terjemahan, sama dengan yang lain, kita membaca dalam Markus 7 : 3–4:
3 Sebab orang-orang Farisi seperti orang-orang Yahudi lainnya tidak makan kalau tidak melakukan pembasuhan tangan lebih dulu, karena mereka berpegang pada adat istiadat nenek moyang mereka; 4 Dan kalau pulang dari pasar mereka juga tidak makan kalau tidak lebih dahulu membersihkan dirinya ; dan ada banyak warisan lain yang mereka pegang dengan teguh, seperti hal mencuci cawan, kendi, dan perkakas tembaga. (Markus 7:3–4)
Setidaknya ada dua kesalahan serius dalam terjemahan ini, keduanya muncul karena penerjemah tidak memahami konteks dan budaya Yahudi pada masa itu.
Pertama, ungkapan “orang-orang Farisi dan semua orang Yahudi lainnya” (οἱ γὰρ Φαρισαῖοι καὶ πάντες οἱ Ἰουδαῖοι) seolah-olah merujuk pada “orang Farisi” dan “semua bangsa Yahudi”. Namun, jelas bukan ini maksudnya. Pada abad pertama, Istilah “Yahudi” (οἱ Ἰουδαῖοι – dibaca hoi Ioudaioi) secara khusus merujuk pada orang-orang yang tinggal di kota suci Yudea dan mereka yang menganggap diri mereka sebagai diaspora besar di luar Yudea (misalnya “Yahudi” di Galilea) dan bahkan wilayah Israel secara keseluruhan (misalnya Rasul Paulus di Tarsus).
Kedua, teks Yunani yang ada di balik terjemahan “Sebab orang-orang Farisi seperti orang-orang Yahudi lainnya tidak makan kalau tidak melakukan pembasuhan tangan lebih dulu” seharusnya berbunyi seperti ini “Karena orang Farisi dan semua orang Yahudi tidak makan sebelum mereka membasuh tangan mereka dengan cara mengepalkan tinjunya (πυγμῇ)” (μὴ πυγμῇ νίψωνται τὰς χεῖρας). Meskipun ini tampaknya merupakan poin yang tidak penting dalam menerjemahkan πυγμῇ (dibaca pugmei), yang seharusnya berarti “kepalan tangan” tetapi diterjemahkan “membersihkan dirinya”, dimana maksud sebenarnya adalah ritual pembasuhan tangan. Hal ini menjadi bukti bahwa penulis Injil Markus sangat memahami praktik keagamaan orang Yahudi. Anda lihat, mengepalkan tangan dalam konteks mencuci tangan mengacu pada adat tradisional, bagi orang Farisi dan sebagian besar orang Yahudi pada masa itu serta orang Yahudi religius di zaman modern, untuk melaksanakan ritual pembersihan ini. Bahkan sampai hari ini, di setiap kamar mandi orang Israel maupun restoran kosher di diaspora, Anda bisa melihat cangkir khusus dengan dua pegangan masih digunakan dengan cara yang sama dengan kebiasaan orang Farisi pada abad pertama.
Tampaknya orang-orang Yahudi (yang kembali dari pembuangan di Babel kemungkinan besar membawa ajaran baru ini ke tanah Israel) percaya bahwa sistem kesucian/kenajisan/kekudusan /biasa juga berlaku untuk segala sesuatu yang bersentuhan dengan orang Israel. Karena itu, segala sesuatu harus dicuci dalam keadaan tertentu untuk mendapatkan status kekudusan/kemurnian. Bukan hanya tangan yang perlu dicuci, tetapi apa pun yang bersentuhan atau mungkin bersentuhan secara fisik dengan orang-orang Yahudi religius. Beberapa naskah juga menyebutkan bahwa tempat tidurpun perlu dicuci, konsep ini tidak hanya berlaku pada tembikar, cangkir, atau wadah makanan yang terbuat dari perunggu (βαπτισμοὺς ποτηρίων καὶ ξεστῶν καὶ χαλκίων {καὶ κλινῶν}).
Sekali lagi, pengetahuan Markus yang sangat detail mengenai tata cara mencuci tangan y, membuktikan bahwa penulis Injil ini sangat akrab dengan Yudaisme pada zamannya.
Tradisi Farisi
Kelompok orang Yahudi, yang terdiri dari orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat dari Yerusalem, kemudian menantang Yesus, yang ketika tinggal di Galilea Yahudi diketahui lahir di Betlehem Yudea, bertanya:
5 “Mengapa murid-murid-Mu tidak hidup menurut adat istiadat nenek moyang kita (Διὰ τί οὐ περιπατοῦσιν οἱ μαθηταί σου κατὰ τὴν παράδοσιν τῶν πρεσβυτέρων), tetapi makan dengan tangan najis (κοιναῖς χερσὶν)?” (Markus 7:5)
Kelompok ini menantang Yesus hanya karena Ia dianggap sebagai orang Yahudi. Meskipun berasal dari Injil lain, hal ini sejalan dengan pernyataan perempuan Samaria yang menegaskan hal tersebut:
9 “Maka kata perempuan Samaria itu kepada-Nya: ‘Masakan Engkau, seorang Yahudi (Πῶς σὺ Ἰουδαῖος ὢν), minta minum kepadaku, seorang Samaria?’” (Yohanes 4:9)
Secara umum, dalam Injil Yohanes (baca buku saya The Jewish Gospel of John atau dengarkan argumen lengkap saya), Yesus dipahami bukan hanya sebagai seorang Yahudi dalam arti bangsa Israel, tetapi secara khusus seorang Yahudi, baik secara kelahiran maupun secara ideologi dasar. Yesus dinyatakan sebagai seorang Yahudi (Ἰουδαῖος) juga pada saat penguburannya:
40 “Mereka mengambil mayat Yesus, mengapaninya dengan kain lenan dan membubuhinya dengan rempah-rempah menurut adat orang Yahudi (καθὼς ἔθος ἐστὶν τοῖς Ἰουδαίοις ἐνταφιάζειν) bila menguburkan mayat.” (Yohanes 19:40)
Demikian pula ketika Yohanes 1:11 menyatakan bahwa “Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya” (οἱ ἴδιοι αὐτὸν οὐ παρέλαβον), saya berpendapat bahwa yang dimaksud di sini bukanlah semua orang Israel, melainkan khusus orang-orang Yudea (οἱ Ἰουδαῖοι). Apa yang kita lihat dalam Markus 7:1-18 adalah dinamika yang sama seperti dalam Yohanes 1:11.
Lebih lanjut kita membaca tentang Yesus yang menuduh mereka menggenapi nubuatan Yesaya, di mana sang nabi berbicara tentang orang-orang munafik pada zamannya. Tuduhan-Nya terutama berkaitan dengan orang-orang yang hanya berbasa-basi tentang pentingnya Taurat tertulis, tetapi menciptakan ajaran-ajaran baru mereka sendiri. Yesus sebenarnya menyebutnya sebagai “ajaran dan tradisi manusia” yang tidak terhormat (ἐντάλματα ἀνθρώπων dan τὴν παράδοσιν τῶν ἀνθρώπων) bukan sekedar “tradisi nenek moyang” (τὴν παράδοσιν τῶν πρεσβυτέρων), yang mempunyai konotasi positif. (Markus 7:6-8)
Untuk memahami argumen Yesus ini, kita perlu ingat bahwa menghormati orang tua bukan sekadar ucapan sopan seperti “Ayah, Ibu, saya menghormatimu”, melainkan juga antara lain berarti memberi dukungan finansial pada masa tua mereka, ketika mereka tidak lagi dapat mengurus diri sendiri. Sebagaimana kita akan lihat nanti, praktik mengucapkan nazar – sebuah pernyataan lisan mengenai formula bahwa harta benda seseorang adalah “korban” (hadiah kurban untuk Tuhan), sudah dikenal luas dan dipraktikkan. Agar semuanya jelas, Yesus memberikan contoh yang jelas tentang tuduhan tersebut kepada delegasi Yudea, dan orang-orang lain yang menguping percakapan ini, contoh yang jelas dari tuduhan yang dimaksud. Ia memberi mereka contoh tentang keputusan Farisi yang memungkinkan para penguasa Farisi menciptakan celah dalam Taurat dan mengabaikan perintah yang jelas untuk menghormati orang tua.
Dalam catatan-catatan Rabbinik selanjutnya, kita melihat guru-guru Yahudi lainnya membahas hal yang sama persis dengan yang dibahas Yesus. Hal ini jelas menunjukkan bahwa setidaknya ada beberapa orang, dalam beberapa generasi orang Yudea sebelum kodifikasi/penulisan Mishna (abad ke-3 M), telah bersumpah kepada Tuhan untuk mempersembahkan harta benda mereka, tetapi kemudian meminta pembebasan dari kewajiban sumpah tersebut ketika kondisi keuangan orang tuanya menjadi buruk. Sebagai contoh, kita membaca:
Rabi Eliezer berpendapat bahwa ketika seseorang ingin dibebaskan dari sumpah, para ahli halakha dapat membahas dampak sumpah tersebut terhadap orang tua orang tersebut. Mereka mungkin bertanya kepada orang tersebut, “Jika kamu tahu orang tuamu akan dipermalukan di depan umum karena sikapmu yang acuh tak acuh terhadap sumpahmu, apakah kamu akan tetap bersumpah?” Para Rabi lainnya tidak sependapat dengan Rabi Eliezer. Mereka melarang penggunaan pertanyaan khusus ini ketika membahas pembebasan sumpah. (Mishnah Nedarim 9:1)
Dalam hal ini, cukup adil untuk mengatakan bahwa argumen Yesus bukanlah dengan individu Farisi tertentu yang mengambil sumpah di luar kitab suci ini, tetapi dengan para pemimpin yang akan menolak permintaan mereka ketika mereka meminta untuk dibebaskan dari sumpah ini (mungkin menggunakan teks seperti Ulangan 23:21-23 yang menyerukan untuk memenuhi semua sumpah kepada Tuhan) karena keadaan keuangan orang tua mereka telah memburuk dan sekarang membutuhkan bantuan yang signifikan dari anak mereka, yang jelas tidak mampu untuk membiayai keduanya.
Yesus, menyimpulkan keputusan semacam ini (Markus 7:12), menuduh delegasi tersebut “…membatalkan Firman Tuhan (ἀκυροῦντες τὸν λόγον τοῦ θεοῦ) berdasarkan tradisi yang telah kamu turunkan” (τῇ παραδόσει ὑμῶν ᾗ παρεδώκατε). Dia kemudian menekankan bahwa ini hanyalah satu dari banyak contoh (Markus 7:13).
Meskipun tradisi para tua-tua dimaksudkan untuk melindungi Taurat (Firman Tuhan) dari pelanggaran, mereka, setidaknya dalam beberapa kasus penting, justru berusaha merusaknya. Setidaknya, begitulah pandangan Yesus. Setelah membaca lebih dekat tentang Yesus, sebagai seorang konservatif yang setia pada Taurat, membela kemurnian Taurat dan menentang inovasi para pemimpin agama Yudea yang berniat baik tetapi menyesatkan. Kita membaca dalam teks paralel, Yesus menyamakan para pemimpin Yudea dan pengikut mereka dengan “orang buta yang menuntun orang buta”. (Matius 15:14)