Logo Logo
  • ID
    • EN
    • RU
    • HI
    • PT
    • ES
    • FR
    • DE
    • PL
  • ID
    • EN
    • RU
    • HI
    • PT
    • ES
    • FR
    • DE
    • PL
  • Beranda
  • Tentang
  • ArtikelArtikelArtikel
    • Taurat
    • Doa
    • Topik Hangat
    • Injil
    • Ibrani
    • Rasul Paulus
    • Maria
    • Sedang dikerjakan
  • Buku
    • Buku
    • Dengarkan
  • Sekolah & Kursus
    • Israel Institute of Biblical Studies (IIBS)
    • Israel Bible Center (IBC)
Reading: Paulus, Rasul Yahudi di dalam Kekaisaran Romawi
Share
Logo Logo
  • ID
    • RU
    • PT
    • PL
    • HI
    • FR
    • ES
    • EN
    • DE
  • Beranda
  • Tentang
  • ArtikelArtikelArtikel
    • Taurat
    • Doa
    • Topik Hangat
    • Injil
    • Ibrani
    • Rasul Paulus
    • Maria
    • Sedang dikerjakan
  • Buku
    • Buku
    • Dengarkan
  • Sekolah & Kursus
    • Israel Institute of Biblical Studies (IIBS)
    • Israel Bible Center (IBC)
Follow US
Dr. Eli © All rights reserved
Rasul Paulus

Paulus, Rasul Yahudi di dalam Kekaisaran Romawi

Rasul Paulus tidak hidup dalam ruang hampa. Jika kita memahami konteks zamannya dengan lebih baik, kita pun akan lebih memahami dirinya.

Tammy Yu
Share
SHARE

Kesulitan kita dalam memahami hal-hal yang tampak seperti kontradiksi dalam tulisan-tulisan Paulus terletak pada hal ini: Surat kepada jemaat di Roma tampak membela dan memihak orang Yahudi, sementara surat kepada jemaat di Galatia seolah-olah merendahkan Hukum (Taurat) dan identitas perjanjian bangsa Yahudi. Dalam uraian berikut, saya akan menunjukkan mengapa isi tulisan Paulus kepada masing-masing jemaat sepenuhnya masuk akal dalam konteksnya masing-masing.

Paulus di Yerusalem

Kita perlu memulai dari bagian yang agak tidak biasa—yaitu dari kesaksian seorang saksi mata yang bernama Lukas (Lucius), yang mencatat sebagian besar perjalanan hidup Rasul Paulus. Mengapa saya menyebut bagian ini tidak biasa karena kebanyakan orang biasanya langsung masuk ke surat Roma atau Galatia untuk untuk menyelaraskan tulisan-tulisan Paulus dalam konteks langsung. Namun, menurut saya, pendekatan seperti itu terlalu tergesa-gesa. Alasan saya adalah karena sebagian besar isi surat Paulus kepada jemaat di Roma tidak berbicara tentang praktik pribadinya dalam menjalankan Taurat, melainkan tentang bagaimana bangsa-bangsa non-Yahudi seharusnya hidup dalam penyembahan kepada Allah yang sama dengan Allah yang terus disembah oleh sisa umat Israel yang setia. Dengan kata lain, kita tahu apa yang Paulus tulis kepada bangsa-bangsa non-Yahudi di dalam Kristus, tetapi kita tidak tahu dari surat-suratnya nasihat apa yang ia berikan kepada sesama orang Yahudi. Menariknya—dan mungkin tidak mengherankan—cara hidup Paulus sendiri justru dijelaskan lebih rinci oleh Lukas. Karena itu, mari kita beralih kepada catatannya.

Kita mulai dari Kisah Para Rasul 21:17, ketika Paulus tiba di Yerusalem bersama rekan-rekan sekerjanya dalam pemberitaan Injil, di sana mereka disambut dengan hangat oleh komunitas pengikut Kristus. Setelah beristirahat dari perjalanan mereka, Paulus dan rombongannya menghadiri pertemuan dengan Yakobus (Yakov/Jacob)— dalam Alkitab berbahasa Inggris terus menerus keliru menyebut James—beserta para penatua jemaat Yerusalem. Setelah selesai berkenalan, Paulus mulai menceritakan kisah tentang pekerjaan Allah yang menakjubkan (yang tak diduga oleh sebagian besar dari mereka) di antara bangsa-bangsa non-Yahudi melalui pelayanannya sendiri (Kis. 21:18–19). Ketika para penatua dan Yakobus—yang tampaknya menjadi pemimpin di antara mereka—mendengarkan kesaksian Paulus, mereka memuji Allah dengan tulus, namun dengan cepat beralih ke masalah yang ada – rumor tentang Paulus, yang mereka yakini tidak benar.

Perlu diingat bahwa ini bukan pertama kalinya Paulus bertemu dengan para penatua Yerusalem. Sebelumnya, ia hadir dalam “Konsili Yerusalem”, di mana ia dengan sukacita menerima “keputusan” yang dihasilkan dan bahkan membawa surat kerasulan berisi keputusan itu (Kis. 15–16), lalu menerapkannya di antara jemaat-jemaat yang ia layani. Namun, dalam Kisah Para Rasul 21:20–21, kita membaca tentang satu tuduhan utama beserta dua tuduhan lainnya  terhadap Paulus, yang berkaitan dengan kesalahpahaman bahwa Paulus menerapkan peraturan yang sama kepada orang Yahudi seperti kepada bangsa-bangsa non-Yahudi :

 “Mendengar itu mereka memuliakan Allah. Lalu mereka berkata kepada Paulus: “Saudara, lihatlah, beribu-ribu orang Yahudi telah menjadi percaya dan mereka semua rajin memelihara hukum Taurat.Tetapi mereka mendengar tentang engkau, bahwa engkau mengajar semua orang Yahudi yang tinggal di antara bangsa-bangsa lain untuk melepaskan hukum Musa, sebab engkau mengatakan, supaya mereka jangan menyunatkan anak-anaknya dan jangan hidup menurut adat istiadat kita.” (Kis. 21:20–21, TB)

Para penentang Paulus menuduh bahwa ia mengajarkan orang-orang Yahudi untuk meninggalkan Taurat, dengan cara: (1) tidak menyunatkan anak laki-laki mereka, dan (2) meninggalkan adat istiadat nenek moyang Yahudi. Inti dari tuduhan itu adalah bahwa Paulus diduga mengajak orang Yahudi untuk keluar dari Yudaisme. Namun, seperti yang telah kita pelajari dalam bagian sebelumnya, yang terjadi justru sebaliknya. Sama seperti Paulus percaya bahwa bangsa-bangsa non-Yahudi harus tetap menjadi bangsa-bangsa non-Yahudi, ia pun sama teguhnya percaya bahwa orang Yahudi harus tetap menjadi orang Yahudi.

Inilah prinsip yang ia tetapkan bagi semua jemaatnya, sebagaimana tertulis dalam 1 Korintus 7:17. Lalu Yakobus bersama para penatua mengusulkan sebuah ujian sederhana—yang mereka yakin Paulus akan lulus—agar semua tuduhan palsu itu dapat dibungkam:

“Jadi bagaimana sekarang? Tentu mereka akan mendengar, bahwa engkau telah datang ke mari. Sebab itu, lakukanlah apa yang kami katakan ini: Di antara kami ada empat orang yang bernazar. Bawalah mereka bersama-sama dengan engkau, lakukanlah pentahiran dirimu bersama-sama dengan mereka dan tanggunglah biaya mereka, sehingga mereka dapat mencukurkan rambutnya; maka semua orang akan tahu, bahwa segala kabar yang mereka dengar tentang engkau sama sekali tidak benar, melainkan bahwa engkau tetap memelihara hukum Taurat. Tetapi mengenai bangsa-bangsa lain, yang telah menjadi percaya, sudah kami tuliskan keputusan-keputusan kami, yaitu mereka harus menjauhkan diri dari  makanan yang dipersembahkan kepada berhala, dari darah, dari daging binatang yang mati dicekik dan dari percabulan.” (Kis. 21:22–25, TB)

Yakobus dan para penatua tidak bingung. Mereka tahu persis dari mana rumor palsu itu berasal— yaitu dari orang-orang yang tidak memahami keputusan Konsili Yerusalem, yang sudah menegaskan bahwa bangsa-bangsa non-Yahudi yang datang menyembah Allah Israel hanya diwajibkan untuk menaati ketentuan-ketentuan Taurat yang berlaku bagi orang asing yang tinggal di antara orang Israel (Kis. 15:22–29; Im. 17–20). Keputusan itu sama sekali tidak berarti bahwa orang Yahudi dalam Kristus kini bebas menikmati sandwich berisi ham atau makanan laut yang dilarang. Para penatua memahami hal ini, begitu juga Paulus.

Paulus melakukan persis seperti yang disarankan Yakobus, menegaskan pernyataan Yakobus tentang dirinya bahwa ia “hidup tertib dengan menaati hukum Taurat” (Kis. 21:24). Paulus bukan orang yang plin-plan; ia selalu konsisten dengan keyakinannya. Kita baca dalam ayat 26:

“Pada hari berikutnya Paulus membawa orang-orang itu serta dengan dia, dan ia mentahirkan diri bersama-sama dengan mereka, lalu masuk ke Bait Allah untuk memberitahukan, bilamana pentahiran akan selesai dan persembahan akan dipersembahkan untuk mereka masing-masing.”  (Kis. 21:26, TB)

Bagi setiap orang Yahudi yang menilai Paulus berdasarkan perbuatannya, perkara itu sudah selesai. Paulus hidup tertib, menaati Taurat, dan karena itu mustahil ia mengajarkan orang Yahudi untuk berbuat sebaliknya. Sementara bagi bangsa-bangsa non-Yahudi yang mengikuti Kristus, Paulus mengajarkan agar mereka menaati surat ketetapan yang telah dikirimkan sebelumnya oleh para rasul dan penatua di Yerusalem. Maka jelaslah bahwa di dalam hal ini, tidak ada pertentangan sedikit pun.

Orang-Orang Yahudi di dalam Kekaisaran Romawi

Kebanyakan orang terkejut mengetahui bahwa pergerakan bangsa Israel di dalam Kekaisaran Romawi mencakup sekitar 6–10% dari seluruh populasi. Artinya, mereka adalah minoritas yang cukup berpengaruh di setiap kota, termasuk di ibukotanya—Roma. Komunitas minoritas ini begitu kuat dan berpengaruh hingga mampu menimbulkan persoalan yang signifikan bagi pemerintahan Romawi. Di Roma saja, setidaknya terdapat sebelas sinagoga Yahudi yang indah, yang sekarang ini merupakan lembaga Yahudi sepenuhnya, namun tidaklah demikian pada zaman Paulus.

Sinagoga—atau tempat pertemuan—pada masa itu adalah lembaga publik Romawi, yang sering  digunakan oleh komunitas Yahudi tetapi juga terbuka bagi masyarakat umum Romawi. Hal ini menjadi konteks historis yang tepat dari Kisah Para Rasul 15:21. Ketika Yakobus menyampaikan pendapatnya bahwa bangsa-bangsa non-Yahudi yang mengikuti Kristus Yahudi harus menaati seperangkat hukum dalam Taurat yang berlaku bagi orang asing yang tinggal di tengah-tengah bangsa Israel. Ia menjelaskan alasannya:

“Sebab sejak zaman dahulu hukum Musa diberitakan di tiap-tiap kota, dan sampai sekarang hukum itu dibacakan tiap-tiap hari Sabat di rumah-rumah ibadat.” (Kis. 15:21, TB)

Walaupun pengaruh bangsa Yahudi di Kekaisaran Romawi—termasuk di kota Roma—sangat besar, sikap para tokoh Romawi terhadap mereka sangat beragam, mulai dari rasa kagum dan sangat hormat hingga kebencian dan ketidakpercayaan total. Berikut adalah beberapa contoh pernyataan yang positif (meski sering membingungkan) tentang orang Yahudi dari para penulis Yunani-Romawi :

Yosefus menulis bahwa Clearchus dari Soli (sekitar tahun 300 SM) menceritakan kisah tentang gurunya, Aristoteles, yang bertemu dengan seorang Yahudi. Aristoteles sangat terkesan dan menilai orang Yahudi itu sebagai “orang Yunani secara bahasa maupun jiwa,” meskipun faktanya orang Yahudi adalah “keturunan dari para filsuf India” (Josephus, Against Apion 1.180 = Stern no. 15). Tacitus, seorang senator, sejarawan, dan orator Romawi yang terkenal dengan tulisannya  Annals dan Histories, menulis demikian:

“Ketika aku hendak menuliskan kisah tentang hari-hari akhir dari sebuah kota yang terkenal, aku merasa harus menjelaskan asal-usulnya terlebih dahulu. Dikatakan bahwa orang-orang Yahudi sebenarnya adalah para orang-orang buangan dari pulau Kreta yang menetap di bagian paling ujung Libya, pada masa ketika Saturnus diturunkan dan diusir oleh Jove. Salah satu argumen yang mendukung hal ini berasal dari namanya; ada gunung yang terkenal di Kreta bernama Ida, oleh  karena itu penduduknya disebut Idaei, yang kemudian berkembang menjadi bentuk barbar Iudaei…” (Tacitus, Histories 5.2).

Penulis besar lainnya, Varro—seorang cendekiawan Romawi dan penulis produktif dengan ratusan karya tentang hukum, astronomi, geografi, pendidikan, satir, puisi dan wacana— berpendapat bahwa dewa-dewa Romawi tidak boleh memiliki sosok, ia merujuk pada orang-orang Yahudi dan Tuhan mereka.

“Ia [Varro] juga mengatakan bahwa bangsa Romawi kuno menyembah dewa-dewa tanpa sosok selama lebih dari 170 tahun. ‘Jika kebiasaan ini masih berlangsung sampai hari ini,’ katanya, ‘penyembahan kita kepada para dewa pasti akan lebih tulus.’ Dan untuk mendukung pendapatnya itu, ia menambahkan, antara lain, kesaksian dari bangsa Yahudi.” (Varro, Antiquities, sekitar 116–27 SM, dikutip oleh Agustinus dalam City of God 4.31, sekitar 354–430 M).

Namun demikian, ada juga beberapa pendapat negatif tentang orang Yahudi dari para penulis Yunani-Romawi, yang belum saya sebutkan di bagian sebelumnya. Beberapa pernyataan ini hanya muncul dalam sumber-sumber di kemudian hari berupa kutipan. Yosefus menghubungkan sebuah mitos Romawi biasa yang digunakan oleh Apion tentang orang Yahudi:

“… [mereka] menculik seorang Yunani, membuatnya gemuk selama satu tahun, lalu membawanya ke sebuah hutan, membunuhnya, mempersembahkan tubuhnya sebagai kurban dengan ritual khas mereka, memakan sebagian dagingnya, dan sambil mempersembahkan korban orang Yunani itu, mereka bersumpah untuk memusuhi bangsa Yunani.” (Josephus, Against Apion 2.94–96).

Atau tuduhan lain:

“… orang-orang Yahudi kemudian menetap di Yerusalem dan sekitarnya, dan ‘menjadikan kebencian terhadap orang lain sebagai tradisi mereka’ serta ‘memperkenalkan hukum-hukum yang aneh: untuk tidak makan bersama bangsa lain, dan tidak menunjukkan kebaikan terhadap mereka sama sekali.’” (Photius, Bibliotheca 244.379).

Ketika berbicara tentang orang Yahudi, Seneca, seorang filsuf Stoa, negarawan, dan dramawan Romawi, menulis:

“Sementara itu, adat istiadat dari bangsa terkutuk ini telah memperoleh pengaruh begitu besar hingga kini diterima di seluruh dunia. Mereka yang dikalahkan telah menetapkan hukum bagi para penakluk mereka.” (Seneca, dikutip oleh Agustinus dalam City of God, sekitar 5 SM–65 M)

Dari sini kita bisa melihat bahwa sikap para penulis Yunani-Romawi sangat beragam, dan tidak diragukan lagi mewakili pandangan masyarakat Romawi secara umum yang membuat bangsa Yahudi kesulitan. Ketika orang-orang Romawi yang takut akan Allah pertama kali bergabung dengan gerakan Yesus di Roma, mereka melakukannya melalui komunitas Yahudi—sebagaimana terjadi di tempat lain. Dalam beberapa hal, mereka kini menjadi bagian dari komunitas yang ramah terhadap orang Yahudi, yang bertindak sebagai jembatan penghubung secara politik antara bangsa Yahudi dan bangsa-bangsa non-Yahudi yang berada dalam wilayah Kekaisaran Romawi. Namun pada suatu waktu, Kaisar Klaudius mengusir semua orang Yahudi dari Roma. Sejarah Romawi kuno mencatatnya demikian:

“Karena orang-orang Yahudi terus-menerus membuat kekacauan karena hasutan Chrestos [yang mereka maksud adalah Kristus, tetapi mereka salah eja], ia [Kaisar Klaudius] mengusir mereka dari Roma.” (Divius Claudius 25).

Kaisar ini juga mengeksekusi beberapa anggota keluarganya sendiri karena berpindah ke Yudaisme, untuk menunjukkan bahwa dialah pelindung sejati kehormatan dan ibadah kepada dewa-dewa Romawi. Perjanjian Baru pun menegaskan peristiwa ini dengan jelas:

“Kemudian Paulus meninggalkan Atena, lalu pergi ke Korintus. Di Korintus ia berjumpa dengan seorang Yahudi bernama Akwila, yang berasal dari Pontus. Ia baru datang dari Italia dengan Priskila, isterinya, karena kaisar Klaudius telah memerintahkan, supaya semua orang Yahudi meninggalkan Roma.” (Kis. 18:1–2, TB)

Follow US
Dr. Eliyahu Lizorkin-Eyzenberg © 2025. All Rights Reserved.
Ikuti Blog Dr. Eli!
Berlangganan untuk mendapatkan pemberitahuan saat artikel baru diterbitkan.
Tanpa spam, Anda bisa berhenti berlangganan kapan saja.
Welcome Back!

Sign in to your account

Username or Email Address
Password

Lost your password?