Logo Logo
  • ID
    • EN
    • RU
    • HI
    • PT
    • ES
    • FR
    • DE
    • PL
  • ID
    • EN
    • RU
    • HI
    • PT
    • ES
    • FR
    • DE
    • PL
  • Beranda
  • Tentang
  • ArtikelArtikelArtikel
    • Taurat
    • Doa
    • Topik Hangat
    • Injil
    • Ibrani
    • Rasul Paulus
    • Maria
    • Sedang dikerjakan
  • Buku
    • Buku
    • Dengarkan
  • Sekolah & Kursus
    • Israel Institute of Biblical Studies (IIBS)
    • Israel Bible Center (IBC)
Reading: Rahel Yahudi dan Maria dalam Kekristenan
Share
Logo Logo
  • ID
    • RU
    • PT
    • PL
    • HI
    • FR
    • ES
    • EN
    • DE
  • Beranda
  • Tentang
  • ArtikelArtikelArtikel
    • Taurat
    • Doa
    • Topik Hangat
    • Injil
    • Ibrani
    • Rasul Paulus
    • Maria
    • Sedang dikerjakan
  • Buku
    • Buku
    • Dengarkan
  • Sekolah & Kursus
    • Israel Institute of Biblical Studies (IIBS)
    • Israel Bible Center (IBC)
Follow US
Dr. Eli © All rights reserved
Maria

Rahel Yahudi dan Maria dalam Kekristenan

Dalam Yudaisme, Allah lebih mendengarkan Rahel daripada Musa atau Abraham. Apakah peran Maria sebagai perantara dalam iman Katolik dan Ortodoks Timur mengikuti pola keteladanan Rahel? Ataukah justru sebaliknya?

Tammy Yu
Share
SHARE

Pertanyaan mengenai apakah Maria, ibu Yesus, dapat dimaknai sebagai “Rahel yang Baru” dalam teologi Kristen—terutama dalam kerangka Katolik—adalah isu yang menarik sekaligus kompleks. Gagasan ini, yang dibahas secara mendalam oleh sarjana Katolik Brant Pitre dalam bukunya Jesus and the Jewish Roots of Mary (2018), berusaha menarik persamaan antara ibu leluhur bangsa Yahudi, Rahel dengan Maria, ibu Yesus, dengan menempatkan Maria dalam konsep Yahudi tentang “jasa para bapa leluhur” dan peran Rahel sebagai perantara yang kuat bagi bangsa Israel. Meskipun argumen Pitre meyakinkan dan berakar kuat dalam tradisi Yahudi, ide ini menimbulkan sejumlah tantangan metodologis dan penafsiran yang perlu dikaji secara kritis. Artikel ini akan menelaah kelebihan dan kekurangan argumen Pitre, membahas konsep Yahudi tentang “jasa para bapa leluhur”, penderitaan dan peran Rahel sebagai penolong dalam tradisi Yahudi, serta hubungan yang dibangun Pitre antara Rahel dan Maria, disamping mempertimbangkan sejauh mana Perjanjian Baru mendukung perbandingan tersebut.

 Jasa Para Bapa dan Ibu Leluhur dalam Tradisi Yahudi

Kunci untuk memahami hubungan antara Rahel dan Maria terletak pada konsep Yahudi tentang “jasa para bapa leluhur” (zechut avot), yang mengacu kepada perbuatan benar para bapa leluhur bangsa Israel—Abraham, Ishak, dan Yakub—yang menghasilkan berkat rohani bagi keturunan mereka. Konsep ini menjadi dasar dalam teologi perjanjian Yahudi, yang menekankan bahwa kesetiaan para bapa leluhur terus mempengaruhi hubungan Allah dengan bangsa Israel. Misalnya dalam Kejadian 26:24 Allah berfirman kepada Ishak, “Akulah Allah ayahmu Abraham; janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau;  Aku akan memberkati engkau dan membuat banyak keturunanmu oleh karena Abraham, hamba-Ku itu.” Janji ini menegaskan dampak kekal dari ketaatan Abraham, terutama kesediaannya untuk mempersembahkan Ishak (Kejadian 22), yang dalam tradisi Yahudi dipandang sebagai puncak iman yang sejati.

Konsep ini juga diabadikan dalam liturgi Yahudi, terutama dalam doa Amida, doa utama dalam ibadah Yahudi, yang dibuka dengan seruan: “Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub.” Doa ini menekankan bahwa Allah mengingat kesalehan para leluhur yang setia, yang membawa  penebus bagi keturunan mereka. Penekanan liturgis ini menunjukkan pentingnya jasa para bapa leluhur dalam konteks perjanjian. Menariknya, Rasul Paulus juga menyuarakan konsep yang sama dalam Roma 11:28, yang menyatakan bahwa orang-orang Yahudi yang menolak Yesus pun tetap “dikasihi oleh Allah karena bapa leluhur mereka.” Hal ini menunjukkan bahwa gagasan zechut avot sudah ada dalam pemikiran umat Kristen mula-mula.

Walaupun secara tradisional “jasa para bapa leluhur” berfokus pada para leluhur laki-laki, tradisi Yahudi juga mengangkat ibu leluhur tertentu—terutama Rahel—sebagai sosok yang penderitaan dan kesalehannya memberikan kontribusi terhadap warisan rohani bangsa Israel. Kehidupan Rahel, yang ditandai oleh penderitaan yang mendalam dan pengorbanan diri, menjadikannya padanan perempuan bagi para bapa leluhur, yang jasanya disebut dalam perannya sebagai perantara. Konsep inilah yang membuka jalan untuk pertanyaan apakah Maria, dalam teologi Kristen, dapat dilihat sebagai kelanjutan atau penggenapan dari peran Rahel.

 Penderitaan dan Peran Rahel sebagai Perantara

Kehidupan Rahel, sebagaimana digambarkan dalam Alkitab Ibrani, adalah kisah jalinan antara penderitaan dan keteguhan. Ceritanya dimulai dengan pertunangannya dengan Yakub, yang bekerja tujuh tahun untuk dapat menikahinya, namun ditipu oleh ayahnya, Laban, yang menggantinya dengan Lea pada malam pernikahan (Kejadian 29). Penderitaan emosional Rahel semakin mendalam karena pengkhianatan itu dan kemandulannya yang panjang, sementara Lea terus melahirkan anak-anak. Ketika akhirnya Rahel melahirkan Yusuf, kehidupannya justru kembali diliputi kesedihan karena Yusuf dijual sebagai budak oleh saudara-saudaranya (Kejadian 37). Ketidak pastian tentang waktu kematian Rahel—apakah terjadi sebelum atau sesudah peristiwa Yusuf dijual sebagai budak— semakin menambah kerumitan kisahnya. Kejadian 35:19 mencatat bahwa Rahel meninggal saat melahirkan Benyamin, namun Kejadian 37:10 tampaknya ia masih hidup ketika Yusuf menceritakan mimpinya. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang kronologi kejadiannya.

Puncak penderitaan Rahel secara teologis muncul dalam Yeremia 31:15, di mana dia digambarkan menangisi orang-orang Israel yang diasingkan: “Beginilah firman TUHAN: Dengar! Di Rama terdengar ratapan, tangisan yang pahit pedih: Rahel menangisi anak-anaknya, ia tidak mau dihibur karena anak-anaknya, sebab mereka tidak ada lagi”.  Ayat ini menggambarkan Rahel sebagai seorang ibu pendoa syafaat yang kesedihannya melampaui kehidupan duniawinya, dan dalam kalender liturgi Yahudi, bagian ini dibacakan bersama Kejadian 22 pada perayaan Rosh Hashanah. Tradisi rabinik memperkuat peran ini  seperti terlihat dalam Bereshit Rabba (82:10), dimana Yakub menguburkan Rahel di dekat Betlehem agar doa-doanya dapat menjadi doa syafaat bagi para bangsa Israel dalam pembuangan di masa depan. Sementara dalam Lamentations Rabba (Petichta 24), perantaraan Rahel bahkan melampaui Abraham, Ishak, Yakub, dan Musa—karena doa mereka untuk pemulihan Israel ditolak oleh Allah, tetapi seruan Rahel, yang lahir dari pengorbanan dirinya—mengatasi kecemburuan dan menerima Lea—menggerakkan hati Allah hingga Ia berfirman: “Demi engkau, Rahel, Aku akan memulihkan Israel ke tempatnya.” (Yeremia 31:15–16). Penggambaran midrasik ini menempatkan Rahel sebagai perantara tertinggi, yang jasa-nya setara, bahkan melampaui para bapa leluhur.

 Maria sebagai Rahel yang Baru: Argumen Pitre

Brant Pitre berpendapat bahwa Maria, ibu Yesus, mewujudkan sosok “Rahel yang Baru” dalam Perjanjian Baru, khususnya dalam Injil Matius. Ia mengidentifikasi tiga hubungan utama: pertama, pembantaian bayi di Betlehem (Matius 2:16–18) terjadi dekat makam Rahel, mengaitkan konteks geografis tangisan Rahel dengan kehadiran Maria; kedua, Matius secara eksplisit mengutip Yeremia 31:15 untuk menggambarkan ratapan atas anak-anak yang dibunuh, menunjukkan hubungan tipologis; dan ketiga, baik Rahel maupun Maria menderita karena tujuan ilahi untuk anak-anak mereka, Yusuf dan Yesus. Pitre merujuk pada sarjana Yahudi seperti David Flusser, yang melihat Rahel sebagai simbol ibu Yahudi yang menderita, tercermin dalam kesedihan Maria atas penganiayaan terhadap Yesus, serta Jacob Neusner, yang mengakui Maria Katolik sebagai “Rahel Kristen” yang doanya bergema dengan kasih ilahi.

Argumen Pitre berakar pada tradisi Katolik – teologi Marian, yang memandang Maria sebagai perantara dan rekan dalam penebusan, peran yang sama dengan Rahel dalam tradisi Yahudi. Pembantaian bayi, yang diperintahkan oleh Herodes untuk menyingkirkan ancaman dari “raja orang Yahudi” yang baru lahir di Betlehem (Matius 2:1–6), menghadirkan kembali tangisan Rahel bagi anak-anaknya. Pelarian Maria ke Mesir bersama Yusuf dan Yesus (Matius 2:13–15) semakin memperlihatkan penderitaan yang sama dengan Rahel, karena kedua ibu itu menanggung kesedihan karena takdir anak-anak mereka. Pitre berpendapat bahwa Matius sengaja mengutip Yeremia 31:15 untuk menggambarkan Maria sebagai Rahel yang baru, di mana kesedihannya sebagai seorang ibu dan perannya sebagai perantara menggenapi ekspektasi bangsa Yahudi akan figur ibu leluhur yang memperjuangkan umat Allah.

Perspektif Kritis

Meskipun tesis Pitre menarik, ia menghadapi tantangan yang signifikan ketika diuji dengan bukti historis dan tekstual. Masalah utama terletak pada penanggalan dan konteks sumber-sumber Yahudi yang dikutip Pitre. Banyak teks rabinik, seperti Genesis Rabba dan Lamentations Rabba, dikompilasi berabad-abad setelah Perjanjian Baru, sehingga diragukan relevansinya untuk menafsirkan teks Kristen abad pertama seperti Injil Matius. Tradisi Yahudi yang muncul kemudian ini mungkin mencerminkan tanggapan terhadap teologi Marian Kristen, bukan sebagai kerangka independen yang dirujuk Matius. Misalnya, pengangkatan Rahel sebagai perantara tertinggi dalam Lamentations Rabba bisa menjadi suatu tandingan Yahudi terhadap meningkatnya penghormatan terhadap Maria dalam Kekristenan mula-mula yang berkembang secara signifikan pada abad ketiga dan keempat.

Selain itu, Matius 2:17–18 mengutip Yeremia 31:15 untuk menggambarkan ratapan bagi anak-anak Betlehem, bukan secara eksplisit untuk menggambarkan Maria. Teks tersebut menekankan tangisan Rahel sebagai simbol kesedihan kolektif orang Yahudi, bukan sebagai tipologi langsung untuk Maria. Walaupun kedekatan geografis Betlehem dengan makam Rahel dan kesamaan penderitaan seorang ibu menunjukkan adanya indikasi, hal ini tidak secara pasti menetapkan Maria sebagai “Rahel yang Baru” dalam teks itu sendiri. Injil tidak secara eksplisit menggambarkan Maria sebagai perantara atau menangis dalam konteks ini, berbeda dengan peran aktif Rahel dalam Yeremia dan midrash setelahnya.

Sebagai ilustrasi tantangan metodologis, pertimbangkanlah kasus paralel mengenai “aturan emas” yang dikaitkan dengan Yesus (Matius 7:12) dan Rabbi Hillel (Shabbat 31a). Kedua tokoh mengungkapkan prinsip serupa—Yesus secara positif (“Perbuatlah kepada orang lain apa yang kamu kehendaki mereka perbuat kepadamu”) dan Hillel secara negatif (“Apa yang kamu benci, jangan lakukan kepada sesamamu”)—namun koneksi Talmud kepada Hillel muncul berabad-abad setelah Yesus. Hal ini menunjukkan adanya kemungkinan tradisi Yahudi menyerap ajaran Kristen, atau keduanya mengambil dari Kitab Suci Yahudi yang sama secara independen. Demikian juga, persamaan antara Rahel dan Maria mungkin mencerminkan pertemuan teologi Yahudi dan Kristen yang muncul kemudian, bukan tipologi yang dimaksud dalam Injil Matius.

 Kesimpulan

Pertanyaan apakah Maria adalah “Rahel yang Baru” merupakan penelusuran yang menarik dari  persimpangan teologi Yahudi dan Kristen. Argumen Brant Pitre, didukung oleh sarjana seperti Flusser dan Neusner, menyoroti persamaan yang meyakinkan: penderitaan Rahel dan Maria yang sama, peran penebusan anak-anak mereka, serta hubungan geografis dan tekstual dalam Matius 2. Namun, karena sumber yang dipakai adalah sumber Yahudi yang muncul kemudian dan kurangnya bukti tekstual secara eksplisit dalam Injil Matius, maka  harus berhati-hati  dalam mengambil kesimpulan karena itu tidak bersifat pasti. Meskipun peran Rahel sebagai perantara dalam tradisi Yahudi memberikan kerangka yang kaya untuk memahami peran Maria dalam teologi Katolik, keterkaitan ini tetap spekulatif karena tidak adanya konfirmasi dari sumber Yahudi yang lebih awal atau sezaman untuk menunjukkan maksud Matius. Keindahan perbandingan ini terletak pada potensinya untuk menjembatani pemahaman Yahudi dan Kristen tentang perantaraan seorang ibu, namun sebaiknya dipandang sebagai kemungkinan, bukan kepastian. Penelusuran lebih lanjut terhadap teks Yahudi abad pertama dan perkembangan Mariologi Kristen mula-mula mungkin kelak akan memperjelas apakah Maria benar-benar “Rahel yang Baru” pada era Perjanjian Baru. Untuk saat ini, hubungan tersebut tetap menjadi pertanyaan yang terbuka, mengajak pembaca untuk menimbang bukti dan membuat penilaian sendiri.

Follow US
Dr. Eliyahu Lizorkin-Eyzenberg © 2025. All Rights Reserved.
Ikuti Blog Dr. Eli!
Berlangganan untuk mendapatkan pemberitahuan saat artikel baru diterbitkan.
Tanpa spam, Anda bisa berhenti berlangganan kapan saja.
Welcome Back!

Sign in to your account

Username or Email Address
Password

Lost your password?