Gagasan bahwa Maria, ibu Yesus, yang mungkin dianggap sebagai “Hawa yang Baru” dalam teologi Kristen merupakan sebuah pemikiran yang menarik dan telah bergema selama berabad-abad dalam pemikiran Kristen, khususnya dalam tradisi Katolik. Gagasan ini berakar dari Injil Yohanes dan ditegaskan oleh Bapa-bapa Gereja mula-mula, menyimpulkan persamaan antara Maria dengan Hawa, perempuan pertama dalam Alkitab Ibrani, menyatakan bahwa ketaatan Maria dan perannya sebagai ibu Yesus membalikkan ketidaktaatan Hawa serta akibatnya. Namun, bukti tekstual dan historis untuk identifikasi ini membutuhkan penelitian yang cermat. Artikel ini menelusuri dasar biblika dari konsep “Hawa yang Baru,” dengan berfokus pada cara Yesus menyapa Maria sebagai “perempuan” dalam Injil Yohanes, hubungan simbolik antara Maria, Hawa, dan gambaran pemberi kehidupan, serta kesaksian para penulis Kristen mula-mula, sambil secara kritis menilai apakah Perjanjian Baru—terutama tulisan-tulisan Paulus—mendukung tipologi ini.
Yesus Menyapa Maria sebagai “Perempuan” dalam Injil Yohanes
Injil Yohanes memberikan dasar Alkitabiah utama untuk menafsirkan Maria sebagai Hawa yang Baru, terutama melalui dua peristiwa di mana Yesus menyapa ibunya dengan sebutan “perempuan” (γυνή, gunē): yaitu pada Perkawinan di Kana (Yohanes 2:1–11) dan pada peristiwa penyaliban (Yohanes 19:25–28). Di Kana, ketika kehabisan anggur, Maria berkata kepada Yesus, “Mereka kehabisan anggur.” Kata Yesus kepadanya: ”Mau apakah engkau dari pada-Ku, perempuan? – dalam bahasa aslinya menggunakan kata “perempuan” (γυνή, gunē), bukan “ibu” – Saat-Ku belum tiba.” (Yohanes 2:4). Meskipun jawaban itu terdengar ketus, Maria kemudian memerintahkan para pelayan untuk menuruti apa yang dikatakan Yesus dan yang berujung pada mujizat air menjadi anggur. Di atas kayu salib, Yesus kembali memanggil Maria dengan sebutan “perempuan,” seraya berkata, “Perempuan, – dalam bahasa aslinya menggunakan kata “perempuan” (γυνή, gunē), bukan “ibu” – inilah, anakmu!” lalu kepada murid yang dikasihi-Nya, “Inilah ibumu!” (Yohanes 19:26–27). Kedua peristiwa ini merupakan satu-satunya momen dalam Perjanjian Baru di mana Yesus secara langsung berbicara kepada ibunya—menjadikan penggunaan kata “perempuan” sangat bermakna.
Awalnya, sapaan “perempuan” mungkin terdengar tidak sopan, terutama dalam konteks modern, seolah-olah Yesus mengambil jarak dari ibunya. Namun, seperti dicatat dalam Liddell and Scott’s Greek-English Lexicon, bentuk vokatif gunē dalam bahasa Yunani dapat menyiratkan rasa hormat atau kasih sayang. Hal ini didukung oleh penggunaan kata gunē untuk perempuan lain dalam Injil tanpa nada merendahkan (misalnya, Matius 15:28; Lukas 13:12; Yohanes 4:21) – Kata γυνή, gunē dalam bahasa Yunani – bahasa asli Alkitab sebenarnya berarti “perempuan” bukan “ibu” seperti terjemahan dalam alkitab bahasa Indonesia – Pilihan Yesus menggunakan kata “perempuan” dan bukan “ibu” tampaknya menandai perubahan peran Maria ketika Yesus memulai pelayanan Mesianik-Nya di Kana dan menyelesaikannya di kayu salib. Di Kana, sapaan itu menandai peralihan dari hubungan keluarga ke hubungan teologis—menekankan peran Maria dalam mengungkapkan misi Yesus. Di atas kayu salib, sapaan yang sama menegaskan peran baru Maria sebagai ibu rohani bagi murid yang dikasihi, dan secara implisit, bagi Gerejanya.
Penggunaan kata “perempuan” juga sama dengan gambaran Hawa dalam Alkitab Ibrani, yang disebut ishah (אִשָּׁה, “perempuan”) sebanyak sepuluh kali dalam Kitab Kejadian (misalnya, Kejadian 2:23), tetapi disebut Hawa – Havah (חַוָּה, “pemberi kehidupan”) hanya dua kali (Kejadian 3:20; 4:1). Terjemahan Yunani dari ishah dalam Septuaginta adalah gunē—kata yang sama yang digunakan untuk Maria dalam Injil Yohanes. Selain itu, nama Hawa berasal dari akar kata Ibrani untuk “kehidupan” (ḥayim), yang menghubungkannya dengan konsep memberi kehidupan—tema yang juga tampak dalam peran Maria sebagai ibu Yesus, sumber kehidupan kekal (Yohanes 6:35–56; 15:1–9). Persamaan ini semakin kuat dengan adanya unsur anggur dalam kedua adegan dalam Injil Yohanes—simbol yang berhubungan erat dengan kehidupan dan darah Yesus—menunjukkan adanya hubungan teologis yang disengaja antara Maria dan Hawa.
Maria, Kehidupan, dan Anggur: Sebuah Hubungan Simbolis
Tema anggur dalam Yohanes 2 dan Yohanes 19 memperkuat kemungkinan hubungan antara Maria dan Hawa sebagai pemberi kehidupan. Di Kana, campur tangan Maria memicu mujizat pertama Yesus—mengubah air menjadi anggur—lambang kelimpahan dan sukacita dalam tradisi Yahudi. Di atas kayu salib, setelah Yesus mempercayakan Maria kepada murid yang dikasihi-Nya, Ia berkata, “Aku haus,” lalu menerima anggur asam (cuka) sebelum berseru, “Sudah selesai” (Yohanes 19:28–30). Urutan ini penting karena anggur asam membangkitkan “cawan murka Allah” (Yesaya 51:22), melambangkan bahwa Yesus menerima dosa umat manusia. Kehadiran anggur pada awal dan akhir pelayanan Yesus, dengan kehadiran Maria di kedua momen tersebut, menunjukkan alur narasi dimana Maria berperan serta dalam misi Yesus dalam misi memberi kehidupan.
Dalam Yohanes 6:53–56, Yesus menyamakan daging dan darahnya dengan makanan dan minuman sejati, dengan mengatakan : ”Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu.” Demikian pula dalam Yohanes 15:1–9, Yesus menyebut diri-Nya “pokok anggur yang benar,” menghubungkan misi-Nya dengan simbol anggur dan kehidupan. Lukas 22:20 dan 1 Korintus 11:25 juga mengaitkan anggur dengan darah Yesus dan perjanjian baru. Kehadiran Maria di Kana—yang memprakarsai mujizat anggur—dan di atas kayu salib—ketika Yesus minum anggur asam—menempatkannya sebagai figur yang terkait dengan pemberi kehidupan, mirip dengan Hawa yang disebut “ibu segala yang hidup” (Kejadian 3:20). Meskipun Yesus adalah pemberi hidup yang utama, peran Maria sebagai ibu-Nya terikat erat dengan misi tersebut, menunjukkan peran sekunder tetapi penting.
Bapa-Bapa Gereja Mula-mula dan Tradisi Hawa yang Baru
Pengenalan Maria sebagai Hawa yang Baru bukanlah konstruksi teologis modern, melainkan sudah muncul sejak semula dalam pemikiran Kristen. Bapa-Bapa Gereja abad ke-2 secara eksplisit menggambarkan persamaan ini, menekankan bahwa ketaatan Maria adalah kebalikan dari ketidaktaatan Hawa. Yustinus Martir (±160 M) menulis bahwa Yesus, yang lahir dari Perawan Maria, membalikkan ketidaktaatan yang dimulai oleh Hawa, yang “mengandung dari perkataan ular” dan melahirkan maut, sementara Maria, melalui iman, melahirkan Putra Allah (Dialogue with Trypho, 100). Irenaeus dari Lyon (±180 M) menambahkan: “Simpul ketidaktaatan Hawa dilepaskan oleh ketaatan Maria” (Against Heresies, III.22.4), lebih lanjut ia membandingkan pelanggaran Hawa dengan Maria yang menerima firman Allah yang disampaikan oleh malaikat Gabriel (Against Heresies, V.19.1). Tertullianus, juga di abad ke-2, menyatakan bahwa iman Maria menghapus kesalahan Hawa karena Maria melahirkan Dia yang membawa keselamatan (The Flesh of Christ, 17). Pada abad ke-4, Agustinus memperkuat tipologi ini dengan mengatakan, “Seperti halnya kematian datang kepada kita melalui seorang perempuan, demikian juga kehidupan lahir bagi kita melalui seorang perempuan” (Christian Combat, 22.24).
Penafsiran awal ini—yang muncul hanya satu hingga dua abad setelah penulisan Injil—menunjukkan bahwa konsep Hawa yang Baru bukanlah gagasan yang baru muncul belakangan, melainkan refleksi Kristen mula-mula atas peran Maria dalam karya keselamatan. Walaupun Injil Yohanes tidak secara eksplisit menyebut Maria sebagai “Hawa yang Baru,” pengulangan kata “perempuan” dan gambaran pemberi hidup yang dikaitkan dengan anggur memberikan dasar bagi penafsiran ini, yang secara teologis dikembangkan oleh Bapa-Bapa Gereja.
Perspektif Paulus dan Peran Hawa
Tantangan utama terhadap hipotesis Hawa yang Baru muncul ketika mempelajari tulisan-tulisan Rasul Paulus, yang tidak secara eksplisit mengaitkan Maria dengan Hawa. Dalam Roma 5:12–21 dan 1 Korintus 15:20–23, Paulus menyebut bahwa kejatuhan hanya disebabkan oleh Adam saja: “Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut,” (Roma 5:12) dan “Karena sama seperti semua orang mati dalam persekutuan dengan Adam, demikian pula semua orang akan dihidupkan kembali dalam persekutuan dengan Kristus” (1 Korintus 15:22). Hawa sama sekali tidak disebutkan dalam bagian-bagian ini, seolah-olah Paulus memandang Adam sebagai pelaku utama dalam kejatuhan. Namun, dalam 1 Timotius 2:13–14, Paulus mengakui peran Hawa, dengan mencatat bahwa “Lagipula bukan Adam yang tergoda, melainkan perempuan itulah yang tergoda dan jatuh ke dalam dosa.” Hal ini menunjukkan bahwa Paulus menyadari peran Hawa dalam kejatuhan itu, meskipun ia menekankan tanggung jawab Adam dalam konteks lain.
Pertanyaannya: ketika Paulus berbicara tentang “Adam,” apakah yang ia maksudkan hanya Adam seorang diri saja, atau ia menggunakan kata “Adam” sebagai singkatan bagi Adam dan Hawa, sesuai dengan konvensi sastra pada zamannya? Dalam konsep Yahudi tentang “jasa para bapa leluhur” (zechut avot), yang sudah pernah kita bahas, sebenarnya mencakup para ibu leluhur secara implisit, meskipun menggunakan terminologi patriarki. Dengan cara serupa, fokus Paulus pada Adam mungkin juga mencakup Hawa, karena tindakan mereka dalam Kejadian 3 saling terkait—Hawa memakan buah terlebih dulu, tetapi keterlibatan Adam lah yang menyebabkan pelanggaran. Tidak adanya hubungan Maria dan Hawa secara eksplisit dalam tulisan Paulus, tidak serta-merta meniadakan kemungkinan bahwa Injil Yohanes, dengan perspektif teologisnya yang khas, memang bermaksud menyampaikan tipologi tersebut. Penekanan Paulus pada Kristus sebagai Adam yang Baru (Roma 5:14; 1 Korintus 15:45) membuka ruang bagi persaman antara Maria dan Hawa dalam teks Perjanjian Baru lainnya—terutama Injil Yohanes.
Penilaian Kritis
Argumen bahwa Maria adalah Hawa yang Baru tampaknya lebih kuat dibandingkan hipotesis Maria sebagai Rahel yang Baru, karena memiliki petunjuk tekstual yang eksplisit dalam Injil Yohanes dan didukung oleh kesaksian awal oleh Bapa-Bapa Gereja. Penggunaan kata “perempuan” dalam Yohanes 2 dan 19, simbol anggur sebagai pemberi hidup, dan peran penting Maria dalam pelayanan Yesus memberikan kerangka yang konsisten untuk melihatnya sebagai kebalikkan dari Hawa. Berbeda dengan hubungan Maria–Rahel yang sangat bergantung pada sumber Yahudi yang muncul belakangan dan hanya satu kutipan dari Matius 2, persamaan antara Hawa dan Maria berakar pada unsur linguistik dan tematik dalam Injil Yohanes, serta diperkuat oleh penulis-penulis Kristen abad ke-2. Namun, tidak adanya pernyataan eksplisit dalam Perjanjian Baru bahwa Maria adalah Hawa yang Baru, serta diamnya Paulus terhadap tipologi ini, menjadi peringatan agar tidak berlebihan dalam menyimpulkan. Hubungan ini bersifat implisit, bukan kepastian, dan memerlukan penafsiran teologis untuk menjembatani celah tersebut.
Tantangan metodologisnya adalah membedakan antara maksud dari penulis abad pertama dan perkembangan teologi sesudahnya. Penafsiran Bapa-Bapa Gereja—meskipun awal—merefleksikan hermeneutika pasca-Injil yang mungkin menonjolkan isyarat halus Yohanes. Mungkin saja Yohanes sengaja menggunakan kata “perempuan” dan tema anggur untuk membangkitkan gema dari Kitab Kejadian, tetapi mungkin juga bahwa tafsir ini baru muncul kemudian oleh Gereja yang berusaha menekankan pentingnya Maria. Konteks Yahudi mengenai Hawa sebagai Havah (pemberi hidup) dan padanannya dalam bahasa Yunani, Zōē (ζωή, “hidup”), memperkuat argumen ini, demikian juga kesamaaan narasi kehadiran Maria di awal dan akhir pelayanan Yesus. Namun, tanpa adanya pernyataan eksplisit dalam Perjanjian Baru, tipologi Hawa yang Baru tetap merupakan konstruksi teologis, bukan amanat alkitabiah yang pasti.
Kesimpulan
Pendapat bahwa Maria adalah Hawa yang Baru merupakan konsep teologis yang kaya dan mendalam yang didukung oleh petunjuk tekstual dalam Injil Yohanes—khususnya cara Yesus menyapa Maria sebagai “perempuan” dan simbolisme pemberi kehidupan melalui anggur di Kana dan di atas kayu salib. Kesaksian Bapa-Bapa Gereja mula-mula dari Yustinus Martyr hingga Agustinus menunjukkan bahwa penafsiran ini sudah muncul dalam waktu yang sejaman dengan penulisan Injil, mencerminkan tradisi yang berakar kuat. Sementara itu, tulisan-tulisan Paulus berfokus pada Adam dengan Kristus tanpa menyebut Maria atau Hawa secara tipologis, tidak menutup kemungkinan adanya persamaan antara Maria dengan Hawa dalam teologi Yohanes. Dibandingkan dengan hipotesis “Maria sebagai Rahel yang Baru,” gagasan “Hawa yang baru” tampak lebih kuat karena memiliki dasar tekstual dan historis. Namun demikian, gagasan ini tetap merupakan kerangka tafsiran, bukan pernyataan eksplisit Kitab Suci—mengajak pembaca untuk menelusuri interaksi yang mendalam antara pemahaman Yahudi dan Kristen tentang kehidupan, ketaatan, dan penebusan.
