Logo Logo
  • ID
    • EN
    • RU
    • HI
    • PT
    • ES
    • FR
    • DE
    • PL
  • ID
    • EN
    • RU
    • HI
    • PT
    • ES
    • FR
    • DE
    • PL
  • Beranda
  • Tentang
  • ArtikelArtikelArtikel
    • Taurat
    • Doa
    • Topik Hangat
    • Injil
    • Ibrani
    • Rasul Paulus
    • Maria
    • Sedang dikerjakan
  • Buku
    • Buku
    • Dengarkan
  • Sekolah & Kursus
    • Israel Institute of Biblical Studies (IIBS)
    • Israel Bible Center (IBC)
Reading: Maria dan Tabut Perjanjian
Share
Logo Logo
  • ID
    • RU
    • PT
    • PL
    • HI
    • FR
    • ES
    • EN
    • DE
  • Beranda
  • Tentang
  • ArtikelArtikelArtikel
    • Taurat
    • Doa
    • Topik Hangat
    • Injil
    • Ibrani
    • Rasul Paulus
    • Maria
    • Sedang dikerjakan
  • Buku
    • Buku
    • Dengarkan
  • Sekolah & Kursus
    • Israel Institute of Biblical Studies (IIBS)
    • Israel Bible Center (IBC)
Follow US
Dr. Eli © All rights reserved
Maria

Maria dan Tabut Perjanjian

Tammy Yu
Share
SHARE

Klaim Katolik bahwa Maria dari Nazaret adalah Tabut Perjanjian yang Baru merupakan gagasan teologi yang mendalam, khususnya yang disoroti oleh Injil Lukas, yang mengacu pada gambaran Perjanjian Lama yang kaya dan tradisi Kristen mula-mula. Pandangan ini berpendapat bahwa Maria—sebagai ibu yang mengandung Yesus, yang disebut Firman Allah, Roti Hidup, dan Imam Besar—menggenapi peran Tabut Perjanjian, tempat kudus yang melambangkan kehadiran Allah di Israel kuno. Pendukung gagasan ini, termasuk Bapa-Bapa Gereja seperti Hippolytus dan Athanasius, serta para sarjana modern seperti Brant Pitre, menunjuk adanya hubungan linguistik —seperti kata “menaungi” dalam Lukas 1:35 dan Keluaran 40:35, serta kesamaan naratif antara Lukas 1:39–56 dan 2 Samuel 6—menyatakan bahwa Lukas sengaja menggambarkan Maria sebagai Tabut yang Baru. Rangkaian penglihatan dalam Wahyu 11:19–12:2, di mana Tabut muncul di Bait Suci sorgawi, diikuti oleh Perempuan yang berselubungkan matahari, juga memperkuat tafsiran ini. Namun demikian, argumentasi ini menghadapi sejumlah tantangan, termasuk ambiguitas teks, bacaan alternatif, serta perlunya eksegesis yang cermat agar menghindari generalisasi yang berlebihan. Tulisan ini akan menelusuri makna makna alkitabiah dari Tabut Perjanjian, mengevaluasi kesamaan antara Maria dan Tabut, menelaah kemunculan kembali Tabut dalam kitab Wahyu, serta menimbang dengan kritis kekuatan dan kelemahan tipologi ini—seraya merefleksikan implikasinya bagi dialog Katolik-Protestan.

Tabut Perjanjian, sebagaimana dijelaskan dalam Keluaran 25:10–22, merupakan benda yang paling kudus bagi bangsa Israel kuno, sebuah kotak dari kayu penaga (acacia) yang dilapisi emas, dirancang untuk menampung benda-benda suci dan berfungsi sebagai pusat kehadiran Allah. Ukurannya dua setengah hasta panjangnya, satu setengah hasta lebarnya, dan satu setengah hasta tingginya, dengan tutup pendamaian (kapporet) dari emas, diapit oleh dua kerub yang sayapnya menaungi tutup itu (Keluaran 25:17–21). Tabut itu hanya berisi loh batu bertuliskan Sepuluh Perintah, melambangkan perjanjian dengan Allah, sebagaimana dijelaskan dalam 1 Raja-Raja 8:9 dan 2 Tawarikh 5:10. Kesalahpahaman umum terhadap Ibrani 9:4 sering membuat orang mengira bahwa Tabut itu juga berisi setoples manna dan tongkat Harun yang bertunas, padahal sebenarnya kedua benda tersebut hanya diletakkan “di depan tabut,” bukan di dalamnya (Keluaran 16:33–34; Bilangan 17:10). Koreksi ini menegaskan pentingnya ketepatan teks. Kekudusan Tabut itu bersumber dari fungsinya sebagai tempat pertemuan dengan Allah : “Di sanalah Aku akan bertemu dengan engkau dan dari atas tutup pendamaian… Aku akan berbicara dengan engkau” (Keluaran 25:22). Diletakkan di Ruang Maha Kudus di Kemah Suci dan kemudian di Bait Suci Yerusalem, Tabut itu menandai puncak kehadiran Allah di tempat itu—di mana kekudusannya semakin terasa meningkat dari Tanah Perjanjian ke Sion, Yerusalem, hingga ruang terdalam Bait Suci (Yesaya 57:15; 66:1).

Makna dari Tabut Perjanjian melampaui tempat kudus, dan menunjukkan kuasa Tuhan dengan cara yang dinamis. Dalam Yosua 3, Tabut itu membelah Sungai Yordan sehingga bangsa Israel dapat masuk ke Tanah Perjanjian. Dalam Yosua 6, Tabut itu memimpin arak-arakan mengelilingi Yerikho hingga temboknya runtuh. Dalam 1 Samuel 4–6, ketika Tabut itu ditawan orang Filistin, Allah menghukum mereka—menumbangkan berhala Dagon dan menimpakan malapetaka hingga Tabut dikembalikan. Perjalanan Tabut menuju Yerusalem di bawah pimpinan Daud dalam 2 Samuel 6 menjadi bagian penting dari tipologi “Tabut yang Baru.” Ketika Uza menyentuh Tabut untuk menahannya dan ia mati seketika itu juga (2 Samuel 6:6–7), kekudusan Tabut itu ditegaskan dengan jelas. Daud, yang awalnya marah dan takut, meninggalkan Tabut di rumah Obed-Edom selama tiga bulan, dan rumah itu diberkati (2 Samuel 6:8–11). Setelah itu, Daud mengarak Tabut ke Yerusalem sambil menari dengan mengenakan baju efod imam, disertai sorak-sorai dan musik (2 Samuel 6:12–15). Narasi-narasi ini menggambarkan Tabut sebagai saluran berkat ilahi sekaligus objek berbahaya yang menuntut penghormatan tinggi—suatu latar yang dibandingkan dengan peran Maria.

Teolog-teolog Katolik berpendapat bahwa Maria menggenapi peran Tabut karena ia mengandung Yesus, yang adalah Firman Allah (Yohanes 1:14), Roti Hidup (Yohanes 6:35), dan Imam Besar (Ibrani 4:14–16). Bapa Gereja seperti Hippolytus (sekitar 170–236 M) menyebut Maria sebagai “tabut yang tidak dapat rusak” yang membawa tubuh Kristus, sementara Athanasius (sekitar 296–373 M) menyebutnya “tempat kediaman Allah Sang Firman,” yang diselubungi kemurnian seperti halnya Tabut yang dilapisi dengan emas. Dokumen The Shrine (§18) dari Vatikan menegaskan persamaan antara awan yang menaungi Kemah Suci (Keluaran 40:34–35) dengan Roh Kudus yang menaungi Maria (Lukas 1:35). Brant Pitre, dalam bukunya Jesus and the Jewish Roots of Mary, mengidentifikasi lima persamaan antara 2 Samuel 6 dan Lukas 1:39–56, yang menunjukkan bahwa Lukas dengan sengaja menggambarkan Maria sebagai Tabut yang baru : (1) Daud “bangkit dan pergi” ke Baale-Yehuda (2 Samuel 6:2) – sama dengan ketika Maria “bangkit dan pergi” ke pegunungan Yehuda (Lukas 1:39); (2) Daud bertanya, “Bagaimana tabut TUHAN itu dapat datang kepadaku?” (2 Samuel 6:9) – sama dengan ketika Elisabet bertanya, “Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang kepadaku?” (Lukas 1:43); (3) Daud dengan mengenakan baju efod imam, ia menari di depan Tabut (2 Samuel 6:14) –  sama seperti halnya Yohanes Pembaptis, dari keturunan imam, melonjak dalam rahim Elisabet (Lukas 1:41); (4) Daud melompat dan bersorak di depan Tabut (2 Samuel 6:15–16) – seperti Yohanes yang melompat dan Elisabet yang berseru (Lukas 1:41–42); dan (5) Tabut tinggal di rumah Obed-Edom selama tiga bulan (2 Samuel 6:11) – seperti halnya Maria tinggal bersama Elisabet sekitar tiga bulan (Lukas 1:56).

Meski menarik, kesamaan ini perlu dikaji dengan hati-hati. Ungkapan “bangkit dan pergi” dalam 2 Samuel 6:2 (anestē kai eporeuthē, LXX) dan Lukas 1:39 (anastasa… eporeuthē) memang mirip tetapi tidak sama, tidak ada struktur konjungtif dalam Injil Lukas, dan frasa itu teks Alkitab yang umum (misalnya Kejadian 12:1). Selain itu, kalimat “dari Baale-Yehuda” dalam 2 Samuel 6:2 mengisyaratkan Daud pergi dari/ meninggalkan Yehuda, sedangkan Maria mengadakan perjalanan menuju ke daerah perbukitan Yehuda, sehingga melemahkan hubungan geografisnya. Pertanyaan Daud mencerminkan rasa takut setelah kematian Uza (2 Samuel 6:9), sedangkan pertanyaan Elizabeth mengekspresikan rasa kagum dan syukur (Lukas 1:43), dengan nada emosional yang berbeda, meskipun keduanya sama-sama merasa tidak layak di hadapan Allah. Sukacita dan lompatan/teriakan mereka sangat mirip, Daud menari di hadapan Tabut, sementara Yohanes melonjak dalam rahim Elisabet, disertai seruan memang sangat mirip, terutama karena Yohanes berasal dari garis keturunan imam (Lukas 1:5). Durasi “tiga bulan” juga menarik, tetapi Lukas menulis “kira-kira tiga bulan” (hōs mēnas treis, Lukas 1:56) berbeda dari Septuaginta yang memakai bentuk tepat “tiga bulan” (mēnas treis, (2 Samuel 6:11), sehingga tidak persis sama, karena durasi kira-kira sering muncul dalam narasi.

Argumen “menaungi” ini kuat, menggunakan kata episkiazō yang sama, baik dalam Lukas 1:35 maupun dalam Keluaran 40:35 (LXX), menunjukkan bahwa Maria, seperti Kemah Suci, dipenuhi dengan kemuliaan Tuhan. Namun, Lukas tidak menggunakan kata ekalypsen “awan yang menutupi” dalam teks asli (Keluaran 40:34) dalam Lukas 1:35, digantikan dengan epeleusetai “Roh Kudus akan turun atasmu” (Lukas 1:35), sehingga tidak sepenuhnya terdapat hubungan linguistik. Perbedaan antara teks Septuaginta dan Masoret semakin memperumit perbandingan, karena naskah Taurat dalam Septuaginta mungkin berbeda dengan teks Ibrani yang kita miliki sekarang. Isi argumen bahwa Maria mengandung Yesus yang adalah Firman, Roti, dan Imam sebagaimana Tabut berisi loh batu, manna, dan tongkat—sangat meyakinkan tetapi dilemahkan oleh fakta bahwa di dalam Tabut hanya terdapat loh batu saja. Kehamilan Maria yang sementara (sembilan bulan) juga membatasi analogi ini, meskipun perannya sebagai ibu yang berkelanjutan, yang ditegaskan di kayu salib (Yohanes 19:26–27), dapat membantah keberatan ini. Luasnya pelayanan Yesus, yang menggenapi berbagai peran dalam Perjanjian Lama (nabi, imam, raja), berisiko melemahkan kekhususan dari tipologi Tabut, karena hampir semua konsep dapat ditelusuri hingga ke Kristus. Wahyu 11:19–12:2 memperkuat pandangan Katolik, dengan kemunculan Tabut di bait suci surgawi diikuti oleh Perempuan yang berselubungkan Matahari, mungkin menunjukkan kesatuan penglihatan, seperti yang terlihat dalam Wahyu 5:5–6 (Singa dan Anak Domba) atau 7:4–9 (144.000 dan kumpulan besar orang-orang). Pemenggalan bab, yang dibuat oleh Stephen Langton pada abad ke-13, mungkin mengaburkan hubungan ini. Kehadiran Tabut Perjanjian Surgawi, tidak adanya Bait Suci di bumi setelah kehancurannya (2 Raja-raja 25:8-10) atau disembunyikan oleh Yeremia (2 Makabe 2:4-8), menunjukkan adanya realitas transenden, yang mungkin dilambangkan oleh Maria sebagai “Perempuan”. Namun, Wahyu 11:19 bisa saja merujuk kepada perjanjian itu sendiri atau pola dasar surgawi (Keluaran 25:9, 40), dan gambaran kosmik Perempuan (Wahyu 12:1) lebih mudah dikaitkan dengan Israel atau Gereja, sehingga membuat pembacaan yang hanya berfokus pada Maria menjadi rumit.

Tipologi “Tabut Baru” yang dikaitkan dengan Maria adalah argumen yang kuat namun tidak mutlak. Penggunaan kata “menaungi”, kesamaan “melonjak dan berseru”, serta urutan penglihatan dalam Wahyu yang cukup meyakinkan, didukung oleh Bapa-Bapa Gereja mula-mula. Namun, perbedaan teks, penggunaan frasa umum dalam narasi, dan Isi Tabut Perjanjian melemahkan argumen tersebut. Skeptisisme Protestan berakar dari sola scriptura (hanya berdasar alkitab saja).

Follow US
Dr. Eliyahu Lizorkin-Eyzenberg © 2025. All Rights Reserved.
Ikuti Blog Dr. Eli!
Berlangganan untuk mendapatkan pemberitahuan saat artikel baru diterbitkan.
Tanpa spam, Anda bisa berhenti berlangganan kapan saja.
Welcome Back!

Sign in to your account

Username or Email Address
Password

Lost your password?