Mari kita telusuri pertanyaan ini lebih dalam. Saya akan menjawab pertanyaan Anda —“Apakah benar-benar hanya ada satu Allah?”— kita akan membahasnya secara menyeluruh dengan gaya Anda: berani, ingin tahu, sedikit provokatif, dan tidak takut untuk menguji asumsi. Anda mempunyai bakat untuk mengajukan pertanyaan yang membuat orang merasa gelisah, dan saya siap menghadapinya. Jadi, mari kita membongkar gagasan bahwa Alkitab, meski bertentangan dengan anggapan banyak orang, sebenarnya tidak sepenuhnya mendukung pandangan tentang monoteistik. Bersiaplah, karena teks-teks kuno ini melukiskan gambaran alam semesta yang penuh dengan makhluk ilahi—dan ini bukan sekadar “satu Allah, titik.”
Pertama-tama, saya akui bahwa pertanyaan ini serasa menginjak ranjau teologis. Ini adalah jenis pertanyaan yang bisa membuat Anda dilirik dengan sinis di bangku gereja atau memicu perdebatan sengit di seminar teologi. Tapi justru karena itulah saya menyukai pertanyaan ini — pertanyaan yang memaksa kita menggali lebih dalam daripada iman versi sekolah Minggu. Jawaban spontan terhadap pertanyaan “Apakah Alkitab monoteistik?” biasanya adalah “Ya, jelas!” Bagaimanapun, bukankah inti dari Alkitab adalah menyatakan bahwa Allah itu satu, Sang Pencipta, Alfa dan Omega?
Tetapi, tunggu dulu. Saat Anda benar-benar membuka teksnya—terutama teks yang lebih tua—Anda akan menemukan kurang adanya pandangan monoteisme (hanya ada satu Allah), yang ada justru lebih henoteistik ( mengakui banyak allah, tetapi hanya ada satu Allah yang paling berkuasa). Mari kita telusuri buktinya, karena Alkitab sendiri memberi petunjuk cukup jelas tentang dunia ilah-ilah yang penuh sesak.
Mulailah dengan Mazmur 82:1, 6. Bayangkan ini: Allah—dengan ‘A’ huruf besar—berdiri di tengah-tengah “Sidang Ilahi”, memimpin sidang seperti hakim agung kosmis. Teksnya berbunyi, “Allah berdiri dalam sidang ilahi, di antara para allah Ia menghakimi… Aku sendiri telah berfirman: ‘Kamu adalah allah, dan anak-anak Yang Mahatinggi kamu sekalian.” Tunggu dulu—allah dalam bentuk jamak? Sidang? Ini bukan tindakan satu pribadi saja — ini adalah adegan yang diambil langsung dari epos Timur Dekat kuno, di mana sang dewa tertinggi memimpin dewan yang terdiri makhluk ilahi lain yang lebih rendah posisinya. Para “allah” ini bukan sekadar metafora; mereka digambarkan sebagai entitas yang nyata dan berkuasa, meski berada di bawah otoritas Yang Maha Tinggi tetapi masih cukup signifikan untuk memastikan berlangsungnya drama di ruang sidang ilahi.
Lalu bunyi ayat dalam Ulangan 32:8 malah lebih mencengangkan. Dalam beberapa tradisi naskah tertua, ayat ini berbunyi: “Ketika Yang Mahatinggi membagikan negeri sebagai milik pusaka kepada bangsa-bangsa, ketika Ia memisahkan anak-anak manusia, Ia menetapkan batas-batas wilayah bangsa-bangsa menurut bilangan anak-anak Allah.” Anak-anak Allah? Ini bukan bicara tentang manusia—melainkan makhluk ilahi, masing-masing diberi tanggung jawab untuk mengawasi berbagai bangsa. Di sini terlihat bagaimana Yang Mahatinggi, Allah Israel, membagi dunia dan menyerahkan wilayah-wilayah itu kepada “anak-anak Allah”, layaknya seorang CEO surgawi yang memberikan tugas kepada para manajer regional. Ini sekilas pandangan bahwa alam semesta ini dipenuhi dengan aktivitas, bukan hanya satu pribadi tunggal yang melayang sendirian dalam kehampaan.
Mazmur 29:1 juga menambahkan : “Kepada TUHAN, hai penghuni sorgawi (anak-anak allah), kepada TUHAN sajalah kemuliaan dan kekuatan!” Lagi-lagi, kita menemukan istilah “anak-anak allah” yang dipanggil, dan mereka bukan sekadar penonton— mereka adalah peserta aktif dalam hirarki ilahi. Atau perhatikan Keluaran 15:11, saat Musa berseru, “Siapakah yang seperti Engkau, di antara para allah, ya TUHAN?” Perhatikan frasanya: bukan “tidak ada allah lain,” melainkan “siapa yang seperti Engkau di antara para allah?” Ini adalah pernyataan keagungan, bukan penyangkalan atas eksistensi ilah-ilah yang lain. Ulangan 10:17 bahkan mempertegas hal ini, dengan menyebut TUHAN sebagai “Allah segala allah dan Tuhan segala tuhan.” Kalimat ini masuk akal hanya bila memang ada allah dan tuhan lain di bawah pimpinan-Nya.
Bahkan Sepuluh Perintah Allah yang terkenal itu dimulai dengan, “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku” (Keluaran 20:3). Ini bukan pernyataan bahwa tidak ada allah yang lain — tetapi sebuah perintah untuk mengutamakan Allah Israel di atas semuanya. Ibaratnya berkata, “Jangan selingkuh dengan kekasih lain.” Keberadaan pihak lain itu diakui; tetapi yang dipersoalkan adalah tentang kesetiaan.
Sekarang mari kita lompat ke Perjanjian Baru, karena nuansa henoteistik ini tidak hilang begitu saja dengan kehadiran Yesus. Paulus, yang menulis hampir setengah dari Perjanjian Baru, condong ke pandangan ini dalam 1 Korintus 8:5–6: “Sebab sungguhpun ada apa yang disebut ‘allah’, baik di sorga maupun di bumi–dan memang benar ada banyak ‘allah’ dan banyak ‘tuhan’ yang demikian– namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari pada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup.” Paulus tidak menyangkalnya : “memang ada banyak allah dan tuhan” di luar sana. Ia tidak menyatakan bahwa mereka itu palsu; ia hanya menekankan bahwa mereka tidak sebanding dengan Bapa dan Yesus. Bagi Paulus, seorang Farisi yang sangat mengenal tradisi Yahudi, pernyataan ini sejalan dengan Shema (“Dengarlah, hai Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa”), yang menekankan pengabdian hanya kepada Allah saja, bukan mengingkari keberadaan makhluk ilahi lainnya.
Jadi, siapa sebenarnya “allah” yang lain ini? Dalam dunia kuno, istilah “allah” tidak selalu berarti “Pencipta alam semesta yang Maha Kuasa.” Istilah ini sering mengacu pada makhluk surgawi yang berkuasa—seperti malaikat, roh jahat, atau yang Paulus sebut dengan “pemerintah- pemerintah, penguasa-penguasa, penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, roh-roh jahat di udara.” (Efesus 6:12). Makhluk-makhluk ini dipercaya memiliki pengaruh nyata, baik yang membawa kebaikan maupun kejahatan. Dalam zaman Alkitab, orang-orang tidak ragu untuk menyebut mereka “allah” atau “anak-anak Allah.” Musa, Yesus, dan Paulus semua berjalan dalam kerangka ini. Mereka tidak menyangkal tentang keberadaan makhluk-makhluk itu; mereka hanya menegaskan bahwa Allah Abraham, Ishak, dan Yakub—Yang Maha Tinggi—adalah satu-satunya yang layak disembah.
Di sinilah letak bagian menariknya. Jika Anda membaca ulang Alkitab dengan kacamata ini, rasanya seperti menonton film berwarna setelah sebelumnya hanya menonton dalam hitam-putih. Alkitab Ibrani (Perjanjian Lama) dan Perjanjian Baru tidak mencoba menawarkan gambaran alam semesta yang steril dengan satu Allah saja. Mereka menggambarkan dunia ilahi yang dinamis dan kompleks, dimana Yang Maha Tinggi memerintah atas banyak makhluk surgawi yang lebih rendah. Drama sesungguhnya terletak pada supremasi Allah Israel, bukan berpura-pura bahwa makhluk yang lain tidak ada. Ini bukan ajaran sesat—melainkan cara pandang dunia kuno. Budaya lain, seperti Kanaan dan Babel, memiliki pantheon (kuil untuk semua dewa) mereka sendiri, dan penulis Alkitab tidak perlu repot-repot menyangkal eksistensi para dewa itu. Sebaliknya, mereka menekankan kesetiaan kepada Dia yang jauh di atas segalanya.
Mengapa hal ini penting? Pertama, ini menantang pemahaman monoteisme yang telah diajarkan kepada kita di zaman modern. Ini memaksa kita membaca Alkitab apa adanya, bukan melalui filter perdebatan teologis abad-abad berikutnya. Para Bapa Gereja mula-mula, seperti Agustinus, mulai menekankan monoteisme ketat untuk melawan paganisme (penyembahan berhala), tetapi teks Alkitab sendiri lebih rumit, lebih kaya, dan jujur saja—lebih menarik. Alkitab mengajak kita masuk ke dalam narasi kosmis, di mana Allah bukan satu-satunya tokoh, tetapi Dia adalah tokoh yang paling utama, tak tertandingi kuasanya dan layak menerima pengabdian total.
Jadi, tidak—Alkitab tidak sepenuhnya memberikan pandangan monoteistik murni. Dasar Alkitab justru pandangan henoteistik —mengakui keberadaan banyak makhluk surgawi, namun juga menyatakan supremasi Yang Maha Tinggi yang tak tertandingi. Musa, Yesus, dan Paulus semuanya memahami hal ini. Mereka tidak sibuk menyangkal adanya “allah” lain; mereka mengajak kita menyembah Dia yang berada di atas segalanya. Coba baca ulang teks-teks Alkitab dengan cara pandang ini, dan Anda akan melihat alam semesta yang hidup dengan dinamika ilahi, dimana Allah Israel memerintah sebagai Raja yang tak tertandingi. Inilah kisah yang diceritakan Alkitab sejak awal—Anda hanya perlu membiarkannya berbicara sebagaimana adanya.