By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Logo Logo
  • ID
    • EN
    • RU
    • HI
    • PT
    • ES
    • FR
    • PL
  • ID
    • EN
    • RU
    • HI
    • PT
    • ES
    • FR
    • PL
  • Beranda
  • Tentang
  • BlogBlogBlog
    • Taurat
    • Doa
    • Topik Hangat
    • Injil
    • Ibrani
    • Rasul Paulus
    • Maria
    • Sedang dikerjakan
  • Buku
    • Buku
    • Materi Gratis
  • Konferensi
    • Israel Institute of Biblical Studies (IIBS)
    • Israel Bible Center (IBC)
Reading: Apakah Petrus Hidup sebagai Orang Yahudi?
Share
Logo Logo
  • ID
    • RU
    • PT
    • PL
    • HI
    • FR
    • ES
    • EN
  • Beranda
  • Tentang
  • BlogBlogBlog
    • Taurat
    • Doa
    • Topik Hangat
    • Injil
    • Ibrani
    • Rasul Paulus
    • Maria
    • Sedang dikerjakan
  • Buku
    • Buku
    • Materi Gratis
  • Konferensi
    • Israel Institute of Biblical Studies (IIBS)
    • Israel Bible Center (IBC)
Follow US
Dr. Eli © All rights reserved
Rasul Paulus

Apakah Petrus Hidup sebagai Orang Yahudi?

Rasul Paulus pernah menuduh Rasul Petrus hidup seperti orang non-Yahudi. Tetapi apakah kita memahami bahasa Yunani Paulus dengan benar?

Tammy Yu
Share
SHARE

Setelah membandingkan perjalanannya dalam Yudaisme dan tradisi nenek moyang Yahudi—baik sebelum maupun sesudah berjumpa dengan Yesus (lihat teks yang disebut sebagai “pertobatan” Paulus)— Rasul yang disegani ini menjelaskan kepada audiensnya – pengikut Kristus non-Yahudi – bagaimana ia menerima Injil langsung dari Allah. Bertahun-tahun kemudian, ia memilih pergi ke Yerusalem untuk membuktikan pesan Injil yang diterimanya dengan para Rasul, yang meneguhkan hal yang penting (Gal. 2:1-10). Persamaan yang Paulus gambarkan antara dirinya dengan Yesus di berbagai suratnya sangat mencolok. Ia mencatat bahwa Yesus secara konsisten menolak menunjukkan Dia adalah Mesias hanya supaya dapat diterima, sama seperti Paulus menolak menonjolkan kerasulannya demi validasi. Keduanya memperoleh otoritas dari atas, terlepas dari otoritas Yerusalem—baik yang mengikuti Kristus maupun yang tidak (Yoh. 10:23-26).

Setelah Paulus meneguhkan otoritasnya terpisah dari dukungan para Rasul Yesus dan para tua-tua dari gerakan Yesus Yahudi mula-mula, kisah ini menjadi semakin menarik sekaligus kompleks. Hal ini menimbulkan tantangan bagi para pembaca modern—karena setiap pembaca adalah penafsir—untuk benar-benar menangkap bobot kata-katanya. Paulus menceritakan bagaimana ia secara terbuka menegur ketidakkonsistenan dan kemunafikan Petrus, ketika Petrus bersama Barnabas menarik diri dari persekutuan pengikut Kristus non-Yahudi hanya karena mereka tidak melakukan konversi proselit (Gal. 2:11-13).

Kisah ini sangat penting, terutama karena penafsiran tradisional yang menggambarkan  Petrus—Rasul bagi orang Yahudi (yang bersunat)—sebagai seorang Yahudi yang tidak menaati Taurat. Implikasinya sangat lugas: jika Petrus, yang diutus kepada orang-orang bersunat, mengabaikan Taurat dan hidup seperti orang non-Yahudi, apalagi Paulus, yang diutus kepada bangsa Israel dan terutama kepada bangsa-bangsa lain, tentu lebih tidak terikat untuk menaati Taurat.

Dalam pandangan standar ini, Petrus tampak mimbang dengan identitas ke-Yahudi-annya dan gaya hidupnya yang taat Taurat—kesetiaan perjanjiannya—bergerak “maju,” lalu “mundur,” dan mungkin “maju” lagi setelah ditegur Paulus. Mari kita meneliti teksnya untuk melihat apakah memungkinkan adanya pembacaan alternatif yang masuk akal, berbeda dari tafsiran tradisional.

Merekonstruksi sejarah membutuhkan pertimbangan kemungkinan dan masuk akal, sehingga perlu berhati-hati dalam setiap penafsiran, baik yang tradisional maupun yang baru. Seperti yang baru-baru ini saya katakan kepada seorang sahabat dekat, kita sebaiknya menghindari mengatakan, “Biarkan Paulus berbicara untuk dirinya sendiri.” Jika kita hidup di zaman Paulus, kita dapat menanyakan langsung untuk klarifikasi. Namun kini, terpisah sangat jauh, hal itu adalah mustahil. Karena itu, bukan hanya surat-surat Paulus, tetapi juga tulisan Lukas (Kisah Para Rasul) menjadi sangat penting untuk menyatukan kepingan teka-teki sejarah ini, sebab Lukas mengamati dan mencatat tindakan Paulus secara langsung.

Petrus dan Orang Non-Yahudi

Dalam Galatia 2:14, Paulus menulis: “Tetapi waktu kulihat, bahwa kelakuan mereka itu tidak sesuai dengan kebenaran Injil, aku berkata kepada Kefas di hadapan mereka semua: ‘Jika engkau, seorang Yahudi, hidup secara kafir dan bukan secara Yahudi, bagaimanakah engkau dapat memaksa saudara-saudara yang tidak bersunat untuk hidup secara Yahudi?’” Menafsirkan ayat ini dengan benar sangatlah penting, karena ini adalah dasar gambaran tradisional tentang gerakan Yesus Yahudi mula-mula—baik orang Kristen maupun orang Yahudi— yang sebagian besar bukan orang yang mentaati Taurat dan karena itu bukan orang Yahudi sejati, menandai lahirnya agama baru: Kekristenan.

Sekilas, tampaknya sangat tepat. Tafsiran tradisional, khususnya dalam Galatia, mengatakan bahwa Paulus menuntun orang percaya menjauh dari ketaatan pada Taurat—bukan karena Taurat tidak bernilai, tetapi karena di dalam Kristus Yesus, Taurat dianggap sudah usang. Gaya hidup Petrus yang tampak “tidak-Yahudi” sesuai dengan pandangan ini. Keragu-raguan Petrus dan Barnabas kemudian keliru ditafsirkan sebagai peralihan dari “tidak menghormati Taurat dalam kehidupan Yahudi mereka” menjadi “kembali menaati Taurat setelah dipengaruhi oleh utusan Yakobus.”

Namun, ada elemen-elemen tertentu yang terasa janggal, dan bagi penafsir yang teliti, tafsiran tradisional ini justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Kita akan kembali pada frasa yang diterjemahkan sebagai “hidup secara kafir”—yang dipahami sebagai pengakuan Paulus, bahkan secara implisit menyetujui gaya hidup Petrus yang tidak-Yahudi—tetapi pertama-tama mari kita ikuti bagaimana argumen Paulus terhadap Petrus berkembang dalam Galatia 2:15a: “Menurut kelahiran kami adalah orang Yahudi dan bukan orang berdosa dari bangsa-bangsa lain.”

Ungkapan ini terasa aneh (saya menyebutnya sebagai “frasa yang janggal”), terutama bila dilihat dari kacamata tradisional. Paulus, yang sedang berbicara kepada Petrus, justru mengingatkan para pembaca non-Yahudi di Galatia bahwa baik ia maupun Petrus adalah orang Yahudi sejak lahir, bukan orang berdosa dari bangsa-bangsa lain! Ini bertentangan dengan persepsi umum kita tentang Petrus dan Paulus. Tetapi teks ini ada, dan mendorong kita untuk meninjau kembali pemahaman kita dalam kerangka Yahudi abad pertama. Sebelum masuk lebih dalam pada ayat ini dan ayat-ayat sebelumnya, ada baiknya kita meninjau secara singkat berbagai pandangan orang Yahudi tentang bangsa-bangsa lain pada zaman Paulus, untuk memperkaya pemahaman kita.

Orang Yahudi tentang Bangsa-Bangsa Lain

Banyak orang Yahudi pada zaman Rasul Paulus—meskipun kita tidak tahu persis berapa jumlahnya—tidak termasuk kelompok “pengagum bangsa-bangsa lain.” Malah, menyebut orang non-Yahudi sebagai “orang berdosa” adalah hal yang lumrah dalam teks yang kemungkinan ditulis oleh komunitas Esseni Yahudi sebelum kelahiran Paulus, yang kini dikenal sebagai Dokumen Damsyik (Damascus Document). Misalnya, teks itu mengecam orang Yahudi yang melaporkan pelanggaran hukum sesamanya kepada pihak berwenang untuk menyelesaikan urusan pribadi, praktik umum yang jahat. Karena itu, saudara-saudara dalam perjanjian baru tersebut menetapkan aturan tegas:

“Setiap orang yang menghancurkan sesamanya dengan hukum bangsa-bangsa lain harus dihukum mati.” (CD A IX, 1)

Dokumen Damsyik juga melarang perjalanan bisnis melewati kota-kota non-Yahudi, karena berisiko mencemari Taurat atau menyebabkan kontak dekat dengan orang non-Yahudi. Pernyataannya jelas: “Jangan seorang pun beristirahat di tempat yang dekat dengan bangsa-bangsa lain pada hari Sabat” (CD A XI, 14-15). Kitab Yobel (Jubilees), yang ditulis dengan nama Musa—praktik umum yang diterima saat itu—menyusun ulang Kitab Kejadian dan memperingatkan bangsa Israel agar tidak “melupakan perayaan-perayaan perjanjian dan mengikuti perayaan bangsa-bangsa lain adalah kesalahan dan kebodohan mereka” (Yobel 6:35).

Kitab 1 Makabe, yang tidak ada hubungannya dengan dinamika Yahudi-Kristen abad ke-21, menyalahkan bangsa-bangsa non-Yahudi atas kehancuran Bait Allah, dengan mencatat:

“Bait Suci diinjak-injak, orang-orang dari bangsa asing menduduki Benteng, yang telah menjadi tempat tinggal bangsa-bangsa lain” (1 Mak. 3:45). Bangsa-bangsa non-Yahudi digambarkan sebagai penyembah berhala (1 Mak. 3:48), sekutu yang hendak membinasakan umat Allah (1 Mak. 3:50-52; 58-59), dan mengantisipasi serangan mereka di masa depan (1 Mak. 4:60). Kegagalan moral bangsa Israel sering dibandingkan dengan bangsa-bangsa non-Yahudi untuk mempermalukan mereka (1 Mak. 7:21-23).

Demikian pula Yesus, seorang Yahudi yang terkemuka, menggunakan bahasa serupa, meskipun kini terasa keras bagi telinga modern. Dalam sebuah kisah yang “janggal,” Ia dengan penuh kasih menyebut anak seorang perempuan Kanaan yang sakit sebagai seekor anjing (Mat. 15:21-28). Hal ini kerap disalahpahami karena menganggap bangsa-bangsa non-Yahudi adalah “anjing sebelum diterima Kristus” atau “orang Yahudi menjadi “anjing karena menolak Yesus sebagai Kristus,” padahal kisah itu Adalah tentang anak perempuan yang disembuhkan dan iman ibunya—berlawanan dengan ketidakpercayaan Israel—diteguhkan. Kesalahpahaman ini muncul karena mengabaikan konteks Yahudi abad pertama.

Singkatnya, frasa Paulus dalam Galatia 2:15—“Menurut kelahiran kami adalah orang Yahudi dan bukan orang berdosa dari bangsa-bangsa lain”—sangat sejalan dengan pandangan umum orang Yahudi abad pertama terhadap bangsa-bangsa lain. Namun yang menarik, bagi Paulus—seorang Farisi yang telah “diubahkan dan dipanggil oleh Yesus Kristus”—sebuah perubahan besar terjadi, tampak dalam teks. Bersabarlah sedikit lagi, karena benang merahnya akan segera terlihat jelas.

Hidup dalam Kristus Yesus

Dalam sebuah makan siang yang menyenangkan, saya pernah bertanya kepada Prof. Daniel Boyarin bagaimana alur pikirannya bekerja. Saya ingin tahu bagaimana ia menyusun teori-teorinya yang berani, segar, dan sering kali—menurut saya—sangat masuk akal. Jawabannya kurang lebih begini: “Saya mulai dengan mengasumsikan bahwa teori tradisional itu cacat, lalu saya bertanya, ‘Seperti apa kebalikan totalnya?’ Kemudian saya menguji alternatif itu dengan bukti untuk melihat apakah hasilnya lebih kuat daripada pandangan konvensional.” Saya akui, sejenak saya sempat berpikir, “Tentu saja… pikiran yang besar akan berpikir serupa…” tetapi segera saya redam kesombongan itu. Terlepas dari candaannya, mari kita bahas teks yang membingungkan ini, dengan tujuan memperoleh pemahaman yang lebih tajam, jelas, dan runtut. Ia menulis:

“Tetapi waktu kulihat, bahwa kelakuan mereka itu tidak sesuai dengan kebenaran Injil, aku berkata kepada Kefas di hadapan mereka semua: ‘Jika engkau, seorang Yahudi, hidup secara kafir dan bukan secara Yahudi, bagaimanakah engkau dapat memaksa saudara-saudara yang tidak bersunat untuk hidup secara Yahudi?’ Menurut kelahiran kami adalah orang Yahudi dan bukan orang berdosa dari bangsa-bangsa lain. Kamu tahu, bahwa tidak seorangpun yang dibenarkan oleh karena melakukan hukum Taurat, tetapi hanya oleh karena iman dalam Kristus Yesus. Sebab itu kami pun telah percaya kepada Kristus Yesus, supaya kami dibenarkan oleh karena iman dalam Kristus dan bukan oleh karena melakukan  hukum Taurat. Sebab: ‘tidak ada seorangpun yang dibenarkan” oleh karena melakukan hukum Taurat. (Gal. 2:14-16).

Apa maksud Paulus ketika berkata bahwa Petrus “hidup secara kafir”? Untuk mengupas ini, mari perhatikan Kisah Para Rasul 17:28, ketika Paulus berbicara kepada orang Yunani di Areopagus di bukit Mars tentang mezbah Allah yang tidak dikenal: “Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada.” (Inilah bagian penting yang perlu dicermati.) Dalam ungkapan “engkau hidup secara kafir” (Gal. 2:14), Paulus menggunakan kata yang sama untuk “hidup” –  bukan untuk merujuk pada praktik keagamaan Yunani/non-Yahudi atau halakha, melainkan pada fakta sederhana bahwa manusia hidup sebagai ciptaan Allah yang tidak dikenal itu (Kis. 17:28).

Ingatlah peristiwa penting yang menjadi landasan semua surat Paulus: Konsili Yerusalem dalam Kisah Para Rasul 15. Di sana ditetapkan ketentuan bagi orang-orang non-Yahudi yang percaya kepada Yesus—tentang apa yang boleh dan tidak boleh mereka lakukan. Tapi apa yang membuat konsensus itu bergeser, sehingga mereka tidak lagi menuntut orang non-Yahudi yang percaya kepada Kristus untuk masuk penuh ke dalam Yudaisme melalui konversi proselit, sebagaimana yang dilakukan Rut, perempuan Moab—sebuah norma lama yang sudah mapan? (Pertanyaan ini kunci, jadi tetaplah mengikuti saya.) Jawabannya seharusnya mendorong kita untuk memperhatikan Kitab Suci dengan lebih cermat dan menolak anggapan bahwa pandangan mayoritas yang sudah lama bertahan otomatis benar.

Apa jawabannya? Sederhana: kesaksian Petrus tentang Roh Kudus yang turun ke atas keluarga Kornelius yang tidak bersunat! Berkat surgawi yang dijanjikan para nabi bagi Israel itu, secara mengejutkan dicurahkan, di depan mata Petrus, kepada orang-orang non-Yahudi yang takut akan Allah dan percaya kepada Mesias Yahudi tanpa masuk Yudaisme. Hal ini tidak mungkin terjadi kecuali Allah memberikan Petrus sebuah visi baru tentang hal yang sangat penting: anggapan bahwa semua orang non-Yahudi najis adalah keliru. Petrus harus menganggap najis pada apa yang Allah nyatakan najis, bukan membuat aturan sendiri. Taurat tidak pernah mengatakan bangsa-bangsa lain itu najis—hanya hewan dan benda tertentu saja. Ingatkah penglihatan Petrus tentang makanan najis dan perintah Allah untuk menyembelih dan makan? Sering dilupakan bahwa setelah itu ada ketukan di pintu dari hamba-hamba Kornelius, orang non-Yahudi, tepat setelah penglihatan itu.

Tidak ada petunjuk bahwa Petrus menafsirkan penglihatan itu sebagai izin untuk makan daging babi di rumah Kornelius, sebagaimana diasumsikan banyak orang sekarang. Yang kita tahu adalah bagaimana ia menafsirkannya: ia masuk ke rumah seorang non-Yahudi. Jangan mencampuradukkan dua istilah berbeda. Seorang proselit adalah orang yang dulunya non-Yahudi tetapi mengubah gaya hidup dan menjalani hidup seperti orang Yahudi; sedangkan orang yang takut akan Tuhan adalah orang non-Yahudi yang menyembah Allah Israel tetapi tidak mengubah gaya hidup seperti orang Yahudi. Untuk dapat memahami bacaan ini, sangat penting untuk memahami perbedaan ini— karena pada umumnya pemikiran Kristen sering keliru.

Proselit diterima penuh dalam komunitas Yahudi, tetapi ada perdebatan sengit mengenai orang yang takut akan Tuhan —apakah orang Yahudi boleh makan bersama mereka atau tidak. Ada beragam pendapat, tetapi banyak orang Yahudi yang sangat ketat menaati Taurat cenderung untuk menolak persekutuan dengan orang non-Yahudi. Melalui penglihatan Petrus, Allah menegaskan sebuah kebenaran penting: orang yang takut akan Tuhan (dan pada dasarnya semua manusia) adalah tahir (tidak najis) sehingga tidak boleh ditolak. Yang dimaksud dengan tahir/najis dalam Taurat bukanlah tentang dosa. Maka, persekutuan dengan bangsa-bangsa non-Yahudi—terutama mereka yang mengikuti Yesus Kristus—harus diterima! Inilah inti penglihatan itu: perintah Allah untuk menyembelih dan makan binatang yang tidak tahir artinya mereka harus menerima orang non-Yahudi yang takut akan Allah, bukan membatalkan kashrut (hukum makanan Yahudi mengenai halal / haram). Di depan mata Petrus, sebuah keluarga non-Yahudi—termasuk anak-anak dan budak—dihidupkan melalui pemberitaannya tentang Yesus Kristus, sebagai seorang Yahudi yang setia kepada Yesus, lewat kuasa pembaruan Roh Kudus.

Sekarang, bagaimana Petrus dan Paulus menjadi hidup dalam Kristus Yesus? Apakah pengalaman mereka berbeda dari orang non-Yahudi? Apakah ketaatan pada Taurat yang melahirkan kehidupan baru, atau perjumpaan dengan Yesus Kristus yang bangkit dan karya kebangkitan Roh Kudus? Jelas jawabannya yang kedua. Petrus hidup dalam Kristus sama seperti Kornelius dan orang-orang non-Yahudi yang takut akan Allah —oleh anugerah melalui iman kepada Yesus sang Mesias! Baik Paulus maupun Petrus – keduanya orang yang mencintai Taurat – memahami hal ini. Tidak ada seorang pun, baik Yahudi maupun non-Yahudi, yang dapat dibenarkan di hadapan Allah kecuali melalui karunia yang sama: iman dan pertobatan! Tema “dihidupkan bersama Kristus” sangat kuat dalam tulisan Paulus. Dalam suratnya yang  terkenal kepada jemaat Efesus 2:4-6, kita membaca:

“…Tetapi Allah yang kaya dengan rahmat, oleh karena kasih-Nya yang besar, yang dilimpahkan-Nya kepada kita, telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus, sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita—oleh kasih karunia kamu diselamatkan—dan di dalam Kristus Yesus Ia telah membangkitkan kita juga dan memberikan tempat bersama-sama dengan Dia di sorga.”

Di sini menggunakan kata kerja yang sama—diterjemahkan sebagai “hidup seperti orang non Yahudi” —muncul lagi, bukan dalam arti gaya hidup, melainkan dalam arti eksistensi hidup yang sejati. Paulus, seorang yang sangat mencintai Taurat, begitu yakin akan hal ini hingga ia melanjutkan argumennya:

“Sebab aku telah mati oleh hukum Taurat untuk hukum Taurat, supaya aku hidup untuk Allah. Aku telah disalibkan dengan Kristus ; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah, yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku. Aku tidak menolak kasih karunia Allah. Sebab sekiranya ada kebenaran oleh hukum Taurat, maka sia-sialah kematian Kristus.” (Gal. 2:19-21)

Perhatikan klaim Paulus: Taurat mengajarkannya untuk mati terhadap Taurat, agar ia hidup bagi Allah, sama seperti Yesus—yang juga mencintai Taurat—mati dan kini hidup dalam hati serta pikiran Paulus melalui kuasa Roh Kudus. Kata “hidup” dan “menghidupi” yang ia gunakan saat menegur Petrus muncul disini. Jadi, ini bukan soal Petrus yang ragu-ragu dalam menjalani gaya hidup Yahudi—praktik agama atau penampilan luar saja — dalam pandangan modern, tetapi tentang keraguannya dengan pelajaran dari Kisah Para Rasul 10: Allah Israel telah menyatakan bahwa orang yang takut akan Tuhan sama sekali tidak najis dan tidak boleh dihindari dengan alasan apa pun.

Follow US
Dr. Eliyahu Lizorkin-Eyzenberg © 2025. All Rights Reserved.
Ikuti Blog Dr. Eli!
Berlangganan untuk mendapatkan pemberitahuan saat artikel baru diterbitkan.
Tanpa spam, Anda bisa berhenti berlangganan kapan saja.
Welcome Back!

Sign in to your account

Username or Email Address
Password

Lost your password?