By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Logo Logo
  • ID
    • EN
    • RU
    • HI
    • PT
    • ES
    • FR
    • DE
    • PL
  • ID
    • EN
    • RU
    • HI
    • PT
    • ES
    • FR
    • DE
    • PL
  • Beranda
  • Tentang
    • Tentang
    • Materi Gratis
  • BlogBlogBlog
    • Taurat
    • Ibrani
    • Injil
    • Rasul Paulus
    • Maria
    • Doa
    • Topik Hangat
    • Sedang dikerjakan
  • Buku
  • Konferensi
    • Israel Institute of Biblical Studies (IIBS)
    • Israel Bible Center (IBC)
Reading: Apakah Tuhan Bermaksud Membunuh Musa atau putranya Gersom, dan Mengapa?
Share
Logo Logo
  • ID
    • RU
    • PT
    • PL
    • HI
    • FR
    • ES
    • EN
    • DE
  • Beranda
  • Tentang
    • Tentang
    • Materi Gratis
  • BlogBlogBlog
    • Taurat
    • Ibrani
    • Injil
    • Rasul Paulus
    • Maria
    • Doa
    • Topik Hangat
    • Sedang dikerjakan
  • Buku
  • Konferensi
    • Israel Institute of Biblical Studies (IIBS)
    • Israel Bible Center (IBC)
Follow US
Dr. Eli © All rights reserved
Taurat

Apakah Tuhan Bermaksud Membunuh Musa atau putranya Gersom, dan Mengapa?

Temukan kisah aneh tentang respons cepat Zipora dan frasa “pengantin darah” yang menyelamatkan Musa dari murka Allah.

Tammy Yu
Share
SHARE

Salah satu episode paling membingungkan dalam Taurat—yang bertentangan dengan kesensitifan budaya modern, terjadi dalam Keluaran 4:24–26. Di sini, tepat setelah Tuhan menetapkan Musa untuk memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir, tanpa diduga Tuhan hendak membunuhnya. Apa yang terjadi setelahnya adalah adegan penuh teka-teki yang melibatkan Zipora, Musa, salah satu putra mereka, dan Allah yang kudus.

Kisah dan Ambiguitasnya

וַיְהִי בַדֶּרֶךְ בַּמָּלוֹן וַיִּפְגְּשֵׁהוּ יְהוָה וַיְבַקֵּשׁ הֲמִיתוֹ


Tetapi di tengah jalan, di suatu tempat bermalam, TUHAN bertemu dengan Musa dan berikhtiar untuk membunuhnya (וַיְבַקֵּשׁ הֲמִיתוֹ; vay’vakkesh hamito).

 

וַתִּקַּח צִפֹּרָה צֹר וַתִּכְרֹת אֵת עָרְלַת בְּנָהּ וַתַּגַּע לְרַגְלָיו וַתֹּאמֶר כִּי חֲתַן-דָּמִים אַתָּה לִי


Lalu Zipora mengambil pisau batu (צֹר; tzor),dipotongnya kulit khatan anaknya, kemudian disentuhnya dengan kulit itu kaki Musa  (וַתַּגַּע לְרַגְלָיו; vataga l’raglav), sambil berkata: “Sesungguhnya engkau pengantin darah bagiku.” (חֲתַן-דָּמִים אַתָּה לִי; khatan damim ata li)”

 

וַיִּרֶף מִמֶּנּוּ אָז אָמְרָה חֲתַן-דָּמִים לַמּוּלֹת


Lalu TUHAN membiarkan Musa. “Pengantin darah,” kata Zipora waktu itu, karena mengingat sunat itu. (Kel. 4:24–26)

Kadang-kadang Taurat memuat narasi yang terlalu singkat sehingga menimbulkan ambiguitas, dan teks ini adalah salah satu contohnya. Meskipun kurangnya penjelasan ini bisa jadi disengaja, namun seringkali membuat para penafsir Alkitab merasa frustasi.

Perlu diingat, jika Anda menemukan ayat Alkitab yang terasa aneh atau tidak masuk akal, besar kemungkinan itu sangat penting. Dengan kata lain, keanehan sebuah teks seringkali untuk menarik perhatian kita agar tidak melewatkannya begitu saja, tetapi mendorong kita untuk merenungkannya lebih dalam.

Dalam teks yang sangat ringkas ini (Kel. 4:24–26), bahkan tidak jelas apakah Tuhan hendak membunuh Musa. Bisa jadi sebenarnya Allah hendak mengambil nyawa anak Musa. Nama putranya memang tidak disebut, tetapi kemungkinan besar targetnya adalah Gersom (Kel. 2:22). Putra keduanya, Eliezer, baru disebut kemudian dalam narasi (Kel. 18:3). Tetapi mengapa kita perlu mempertimbangkan kemungkinan bahwa Tuhan hendak membunuh anak Musa, bukan Musa sendiri? Jawaban singkatnya: karena konteks.

Konteks kejadian Sebelum dan Sesudahnya

Ketika kita mencoba memahami teks Alkitab—terutama bagian yang terkenal sulit—kita harus memperhatikan apa yang terjadi tepat sebelum dan sesudahnya untuk melihat bagaimana teks itu sesuai dengan konteksnya. Ternyata bagian baik sebelum maupun sesudah ayat misterius ini sama-sama berkaitan dengan anak sulung Allah—bangsa Israel. Ini penting karena Gersom, yang disunat oleh Zipora, adalah anak sulung Musa dan Zipora.

Dalam ayat sebelumnya, Tuhan memberi instruksi kepada Musa yang akan bertemu Firaun di Mesir:

“22 Maka engkau harus berkata kepada Firaun: Beginilah firman TUHAN: Israel ialah anak-Ku, anak-Ku yang sulung, 23 sebab itu Aku berfirman kepadamu: Biarkanlah anak-Ku itu pergi, supaya ia beribadah kepada-Ku; Tetapi jika engkau menolak membiarkannya pergi, maka Aku akan membunuh anakmu, anakmu yang sulung.” (Kel. 4:22–23)

Teks setelah bagian yang penuh teka-teki ini menegaskan bahwa Allah Musa sangat peduli dengan anakNya – bangsa Israel (Kel. 4:27–31).

Jika benar Tuhan hendak membunuh anak Musa, maka ancaman sebelumnya Adalah mengambil nyawa anak sulung Firaun, sekarang berlaku juga terhadap anak sulung Musa yang tidak taat.

Setelah kita melihat konteksnya, kita siap mempertimbangkan dengan serius apa yang terjadi dalam teks yang diapit dua ayat yang baru saja dikutip.

Masalah besar yang enggan dibicarakan

Zipora menyelamatkan keadaan dengan menyunat anaknya, lalu menyentuhkan kulit khatan Gersom yang berdarah itu ke kaki Musa, sambil berkata bahwa setelah ini Musa akhirnya menjadi “pengantin darah” baginya. Penafsiran yang paling logis adalah baik Gersom maupun Musa belum disunat sebagaimana yang dituntut dalam perjanjian dengan Allah Israel. Situasi serupa terjadi kemudian dalam Kitab Yosua, ketika semua generasi baru Israel belum disunat, sehingga diperlukan sunat massal kedua (Yos. 5:2–7).

Namun Anda mungkin bertanya: bagaimana bisa Gershom sebagai anak sulung Musa, dan bahkan Musa sendiri, belum disunat? Ada beberapa kemungkinan tetapi dalam kasus Musa, penjelasan yang paling masuk akal adalah ia menganggap dirinya sudah disunat. Musa dibesarkan di istana Firaun sebagai pangeran Mesir, dalam budaya yang memang mengenal praktik sunat di kalangan elit laki-laki. Tetapi sunat itu bukan sebagai tanda perjanjian dengan Allah Abraham, Ishak, dan Yakub, melainkan hanya sebagai tradisi Mesir.

Ada kemungkinan Zipora dan Musa tidak sepakat dalam hal ini. Zipora mungkin merasa Musa seharusnya disunat dengan cara yang benar sejak dahulu, sedangkan Musa merasa sunatnya sudah cukup. Atau mungkin Zipora tahu bahwa Musa memang ingin disunat ulang dengan benar sesuai perjanjian, tetapi dia terus menunda-nunda hal penting ini. Apa pun yang sebenarnya terjadi, Zipora tahu persis apa yang harus dilakukan untuk mencegah terjadinya tragedi.

Bagi pembaca modern seperti kita (terutama orang Kristen), penekanan pada sunat mungkin terdengar berlebihan. Mengapa Allah begitu peduli pada tanda fisik? Tapi bagi YHWH, sunat adalah hal yang tidak bisa ditawar. Itu adalah tanda perjanjian Abraham bagi seluruh bangsa Israel (Kej. 17:10–14).

Satu hal penting yang harus diingat adalah bahwa bagian tubuh yang disunat bukanlah hidung atau jari, melainkan alat kelamin pria, ini menandakan bukan hanya untuk pria itu sendiri, tetapi juga keturunannya dan masa depannya adalah milik Allah. Meskipun hanya laki-laki yang menerima tanda fisik itu, penting juga bagi para istri supaya mereka tahu bahwa rumah tangga mereka memang milik TUHAN.

Tidak bersunat—atau sunat yang salah—berarti berada di luar perjanjian itu, suatu pelanggaran serius bagi bangsa Israel, apalagi bagi pemimpin besar Keluaran. Musa akan memimpin “Operasi Keluaran,” tindakan penyelamatan Allah yang terbesar dalam sejarah Israel. Namun besar kemungkinan ia dan sudah pasti anak sulungnya Gersom, tidak memiliki tanda perjanjian yang paling penting ini. Ini bukan kekhilafan kecil. Ini adalah masalah serius yang membuatnya tidak layak menjadi utusan pilihan Allah.

Intervensi Zipora

Datanglah Zipora, istri Musa yang berasal dari Midian, yang muncul sebagai pahlawan tak dikenal dalam drama ini. Ketika Tuhan berhadapan dengan Musa dengan maksud membunuh (וַיְבַקֵּשׁ הֲמִיתוֹ; vay’vaqqesh hamito), Zipora bertindak cepat. Ia mengambil pisau batu, memotong kulit khatan anaknya, lalu menyentuhkannya ke kaki Musa (וַתַּגַּע לְרַגְלָיו; vattaga l’raglav). Lalu ia mengucapkan kata-kata yang penuh misteri: “Sesungguhnya engkau adalah pengantin darah bagiku” (כִּי חֲתַן-דָּמִים אַתָּה לִי; ki chatan-damim atah li). Seketika itu juga Tuhan mengurungkan niat-Nya, dan Musa pun selamat.

Apa sebenarnya yang terjadi? Mari kita uraikan satu per satu.

Pertama, jelas Zipora tahu bahwa masalah ini berkaitan dengan sunat. Jika tidak, ia tidak akan tahu tindakan yang harus diambil dengan cepat. Dengan menyunat Gersom, ia menebus kegagalan perjanjian suaminya. Tetapi mengapa ia menyentuhkan kulit khatan itu ke “kaki” Musa? Kata Ibrani רַגְלָיו (raglav, “kaki”) sering kali merupakan eufemisme untuk organ reproduksi laki-laki dalam Alkitab Ibrani (lihat, misalnya, Rut 3:7 atau Yesaya 7:20). Tampaknya setelah menyunat Gershom, Zipora secara simbolis mentransfer tanda sunat Gersom kepada Musa. Dengan melakukan hal ini, ia menyatakan bahwa Musa sekarang sudah benar di hadapan Allah, seolah-olah ia sendiri memiliki tanda yang sah.

Kita tidak bisa memastikan setiap detail dari kejadian ini. Bisa saja Musa sebenarnya sudah disunat, tetapi lalai menyunat anaknya. Dalam skenario ini, Zipora bisa saja menyunat Gersom dan menganggap Musalah yang telah melakukan tindakan yang seharusnya telah dilakukannya. Namun hal ini mengarahkan kita kepada pernyataannya: “pengantin darah bagiku.” Ungkapan bahasa Ibrani חֲתַן-דָּמִים (chatan-damim) sangat mencolok. Kata חֲתַן (chatan) berarti pengantin laki-laki, dan דָּמִים (damim) berarti darah. Pernyataan Zipora menunjukkan bahwa sunat bukan hanya tanda penting antara Allah dan pria yang ikut serta dalam perjanjian, tetapi juga memiliki dampak dalam hubungan pernikahan, oleh karena itu, hal ini juga relevan bagi wanita. Bagi seorang wanita seperti Zipora, menikah dengan pria yang memiliki perjanjian dengan YHWH berarti menikahi seseorang yang ditandai oleh ritual berdarah yang disebut sunat. (Ritual berdarah dikenal luas pada zaman Alkitab dan seperti pengorbanan Paskah, memiliki sifat menyelamatkan.) Seorang pria yang disunat dengan benar adalah “pengantin darah” bagi istrinya—bukti bahwa ia menyembah Allah Abraham, Ishak, dan Yakub. Dengan melakukan penyunatan dan menyentuhkan darah itu ke “kaki” Musa, Zipora secara simbolis memulihkan Musa ke dalam kesetiaan perjanjian, memastikan bahwa ia benar-benar menjadi “pengantin darah perjanjian” baginya.

Standar yang Lebih Tinggi

Allah mungkin bisa mentoleransi bangsa Israel yang belum disunat untuk sementara waktu—karena mereka adalah budak di Mesir. Namun Musa, sang pemimpin besar yang akan mewakili YHWH di hadapan Firaun, harus memenuhi standar yang jauh lebih tinggi.

Mari kita ambil contoh. Dalam Perjanjian Baru, terdapat ayat-ayat yang menjelaskan syarat bagi para penatua (pemimpin rohani) dalam jemaat. Pada zaman ketika budaya poligami diterima secara umum, seorang penatua dalam jemaat Kristen haruslah suami dari satu istri saja. Meskipun poligami tidak secara eksplisit dilarang bagi semua orang percaya, para penatua dituntut menjalani standar yang lebih tinggi yang mencerminkan hubungan monogami antara Adam dan Hawa. (1 Tim. 3:2; Titus 1:6).

Persyaratan bagi para penatua dalam 1 Timotius 3 dan Titus 1 menekankan karakter teladan (“tidak bercela”), yang menyiratkan bahwa para penatua harus memberikan contoh standar etika dan rohani tertinggi. Dengan mewajibkan monogami, gereja mula-mula memastikan bahwa para pemimpinnya mencerminkan pernikahan yang alkitabiah, bahkan dalam budaya yang menerima poligami. Standar yang lebih tinggi ini sejalan dengan misi gereja untuk membedakan diri dari praktik budaya di sekitarnya dan mewujudkan rancangan Allah untuk hubungan antarmanusia.

Kesimpulan

Keluaran 4:24–26, walaupun misterius, mengungkapkan kebenaran yang abadi: perjanjian Tuhan menuntut komitmen yang tak tergoyahkan, dan hal ini menjadi inspirasi kita hari ini. Sunat bukan sekadar ritual, tetapi ikatan kudus yang menghubungkan bangsa Israel dengan Allah. Tindakan berani Zipora—menyunat anaknya dan secara simbolis memulihkan Musa ke dalam perjanjian—mengubah momen penghukuman menjadi keselamatan, mencerminkan darah keselamatan dari Paskah. Sebagai perempuan Midian, putri imam Yitro, ia menjadi menara iman, memastikan misi Musa untuk membebaskan bangsa Israel tetap berjalan. Kisahnya mengajak kita untuk bangkit melampaui rasa takut dan norma budaya, menjawab panggilan Allah dengan ketaatan yang berani. Seperti Zipora, kita dapat menggunakan iman sebagai pisau batu, memotong keraguan untuk menyelaraskan hidup kita dengan tujuan ilahi. Warisannya menginspirasi kita untuk bertindak tegas, percaya bahwa ketaatan kita bisa membawa perubahan, menjembatani surga dan bumi, dan melanjutkan rencana penyelamatan Allah bagi dunia.

Follow US
Dr. Eliyahu Lizorkin-Eyzenberg © 2025. All Rights Reserved.
Ikuti Blog Dr. Eli!
Berlangganan untuk mendapatkan pemberitahuan saat artikel baru diterbitkan.
Tanpa spam, Anda bisa berhenti berlangganan kapan saja.
Welcome Back!

Sign in to your account

Username or Email Address
Password

Lost your password?