By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Logo Logo
  • ID
    • EN
    • RU
    • HI
    • PT
    • ES
    • FR
    • DE
    • PL
  • ID
    • EN
    • RU
    • HI
    • PT
    • ES
    • FR
    • DE
    • PL
  • Beranda
  • Tentang
    • Tentang
    • Materi Gratis
  • BlogBlogBlog
    • Taurat
    • Ibrani
    • Injil
    • Rasul Paulus
    • Maria
    • Doa
    • Topik Hangat
    • Sedang dikerjakan
  • Buku
  • Konferensi
    • Israel Institute of Biblical Studies (IIBS)
    • Israel Bible Center (IBC)
Reading: Berkat yang Dicuri dan Dikembalikan
Share
Logo Logo
  • ID
    • RU
    • PT
    • PL
    • HI
    • FR
    • ES
    • EN
    • DE
  • Beranda
  • Tentang
    • Tentang
    • Materi Gratis
  • BlogBlogBlog
    • Taurat
    • Ibrani
    • Injil
    • Rasul Paulus
    • Maria
    • Doa
    • Topik Hangat
    • Sedang dikerjakan
  • Buku
  • Konferensi
    • Israel Institute of Biblical Studies (IIBS)
    • Israel Bible Center (IBC)
Follow US
Dr. Eli © All rights reserved
Taurat

Berkat yang Dicuri dan Dikembalikan

Temukan apa yang sebenarnya terjadi dalam salah satu kisah yang paling menggugah dalam Alkitab.

Tammy Yu
Share
SHARE

Dalam artikel ini, kami ingin menunjukkan bahwa berkat anak sulung yang diambil Yakub dari saudaranya, Esau, tidak membawanya pada kehidupan yang mudah  penuh kemakmuran dan kekuasaan seperti yang sungguh diharapkannya. Sebaliknya, berkat Abraham yang diterimanya dari Ishak sebelum pergi ke Padan-Aram justru membawa apa yang dijanjikan—kehadiran Allah, keturunan yang banyak, dan tanah untuk tinggal. (Pastikan Anda sudah membaca bagian pertama dari studi ini yang berjudul “Menukar Kepemimpinan Masa Depan dengan Semangkuk Sup.”) Lebih lanjut, kami berargumen bahwa Yakub akhirnya mengembalikan berkat anak sulung tersebut kepada Esau, dengan demikian, ia membuktikan dirinya sebagai seorang yang bertobat dan layak menjadi bapa dari umat Allah, Israel.

Apa yang Ditabur, Itu yang Dituai

Setibanya di Padan-Aram, Yakub sampai di tempat tinggal Laban setelah bertemu kekasih masa depannya, Rachel, di dekat sebuah sumur dan membantunya di sana. Awalnya, Yakub disambut dengan hangat di rumah Laban (Kejadian 29:13-14), tetapi ia segera menyadari bahwa kenyataan tidak seperti yang tampak.

Yakub sangat jatuh cinta kepada Rahel dan bersedia bekerja selama tujuh tahun yang Panjang agar bisa menikahinya, sesuai dengan permintaan Laban. Namun, Laban menipunya dengan memberikan Lea, bukan Rahel, pada malam pernikahan mereka. Setelah pernikahan mereka dikukuhkan dengan hubungan suami istri, barulah kebenaran terungkap keesokan paginya. Yakub akhirnya merasakan apa yang pernah ia lakukan terhadap Esau. Ia pun ditipu dengan kejam.

Seminggu kemudian, Yakub juga menikahi Rahel, tetapi dengan harga yang mahal: ia harus bekerja tujuh tahun lagi untuk memenuhi permintaan pamannya yang licik (Kejadian 29:15-30), sebelum dia dapat memulai rumah tangga yang mandiri di tempat lain.

Seperti neneknya, Sara, dan ibunya, Ribka, Rahel mengalami kesulitan untuk mengandung. Sebaliknya, Allah berkenan kepada Lea, meskipun Yakub tidak menyukainya, dan memberinya banyak anak. Hal ini menimbulkan persaingan sengit antara Lea dan Rahel demi cinta dan perhatian Yakub (Kejadian 29:31-35). Kehidupan Yakub jauh dari bahagia dan harmonis. Tidak diragukan lagi Yakub harus terus menerus menghibur istri yang sangat dicintainya, Rahel yang sangat terpukul karena tidak bisa mengandung. Hal itu menyebabkan ketegangan yang signifikan dalam hubungan mereka yang dulunya penuh cinta. Kita membaca:

“Ketika dilihat Rahel, bahwa ia tidak melahirkan anak bagi Yakub, cemburulah ia kepada kakaknya itu, lalu berkata kepada Yakub: “Berikanlah kepadaku anak; kalau tidak, aku akan mati.” Maka bangkitlah amarah Yakub terhadap Rahel dan ia berkata: “Akukah pengganti Allah, yang telah mencegah engkau mengandung?” (Kejadian 30:1-2)

Barulah setelah Lea melahirkan anak ketujuh, Dinah, Rahel akhirnya mengandung dan melahirkan Yusuf—seorang putra yang nasib malangnya kemudian menyebabkan Yakub dan Rachel yang dicintainya mengalami kesedihan dan penderitaan yang tak terbayangkan.

Meskipun Yakub mengalami banyak penderitaan di Padan-Aram, bukan berarti berkat yang dicurinya tidak memiliki pengaruh. Kuasa dari berkat tersebut membuat sumber daya Yakub yang terbatas berubah menjadi kekayaan dan pendapatan pasif yang besar (Kejadian 30:25-43). Kita membaca:

“Maka sangatlah bertambah-tambah harta Yakub, dan ia mempunyai banyak kambing domba, budak perempuan dan laki-laki, unta dan keledai.” (Kejadian 30:43)

Meskipun berkat itu bukan milik Yakub, berkat itu mengandung kuasa yang tidak bisa dihalangi oleh kesalahan manusia.

Waktunya Telah Tiba

Pada satu titik, jelas sudah waktunya bagi Yakub dan keluarganya untuk pergi dan tidak kembali lagi. Keinginannya itu diteguhkan oleh perintah Allah (Kejadian 31:1-3). Berkat Abraham yang diturunkan Ishak kepada Yakub mulai bekerja secara nyata. Allah bersabda kepada Yakub:

“Akulah Allah yang di Betel itu, di mana engkau mengurapi tugu, dan di mana engkau bernazar kepada-Ku; maka sekarang, bersiaplah engkau, pergilah dari negeri ini dan pulanglah ke negeri sanak saudaramu.” (Kejadian 31:13)

Laban tidak rela melepaskan Yakub, sehingga Yakub harus melarikan diri, sama seperti dulu ia melarikan diri dari Esau. Sekarang ia harus melarikan diri ke arah yang berlawanan. Perlu dipahami bahwa para pembaca pertama kitab Kejadian adalah bangsa Israel yang baru saja keluar dari perbudakan Mesir. Perbudakan Yakub oleh Laban menyentuh hati mereka karena mereka juga tahu betapa sulitnya melarikan diri dari tuan mereka.

Saat Yakub menghadapi Laban, ia dengan berani menceritakan penderitaan yang ia alami:

“Selama dua puluh tahun ini aku bersama-sama dengan engkau… Aku dimakan panas hari waktu siang dan kedinginan waktu malam, dan mataku jauh dari pada tertidur. Selama dua puluh tahun ini aku di rumahmu; aku telah bekerja padamu empat belas tahun lamanya untuk mendapat kedua anakmu dan enam tahun untuk mendapat ternakmu, dan engkau telah sepuluh kali mengubah upahku. Seandainya Allah ayahku, Allah Abraham dan Yang Disegani oleh Ishak tidak menyertai aku, tentulah engkau sekarang membiarkan aku pergi dengan tangan hampa; tetapi kesengsaraanku dan jerih payahku telah diperhatikan Allah dan Ia telah menjatuhkan putusan tadi malam.” (Kejadian 31:38-42)

Pencobaan yang dialami Yakub tidak berakhir dengan konfrontasi ini (beberapa pencobaan masih terjadi setelah ia berdamai dengan Esau). Sikhem, putra Hamor, penguasa daerah itu, melakukan kekerasan seksual terhadap Dina, putri Yakub, yang menyebabkan trauma lebih lanjut. Situasi semakin tak terkendali, dan putra-putra Yakub, melalui tipu daya, melakukan pembantaian massal di perkemahan orang Hewi (Kej. 34:1-31). Di sini, tipu daya kembali memainkan peran utama. Namun kali ini bukan Yakub, melainkan beberapa anaknya yang bertindak seperti yang pernah dilakukannya. Setelah Sikhem, seorang pangeran Hewi, menodai Dina, putri Yakub, ia berusaha menikahinya. Simeon dan Lewi, saudara-saudara Dina, menipu Sikhem dan ayahnya, Hamor, dengan menyetujui pernikahan tersebut dengan syarat semua pria Hewi disunat. Sementara orang Hewi pulih dari sunat, Simeon dan Lewi menyerang, membunuh semua laki-laki, termasuk Sikhem dan Hamor, dan menjarah kota. Rencana licik mereka membalas dendam atas pemerkosaan Dina, tetapi berujung pada kekerasan brutal terhadap banyak orang tak bersalah.

Secara keseluruhan, jelas bahwa Yakub mengalami hidup yang sangat berat, baik sebelum maupun sesudah berdamai dengan Esau. Ketika Yakub bertemu Firaun setelah bertemu kembali dengan Yusuf, ia berkata:

“…Tahun-tahun hidupku itu sedikit saja dan buruk adanya…” (Kejadian 47:9, וּמְעַט וְרָעִים הָיוּ יְמֵי שְׁנֵי חַיַּי, u-m’at v’ra’im hayu y’mei sh’nei chayyai)

Mengembalikan Berkat yang Dicuri

Yakub mengirim pesan kepada saudaranya Esau, memerintahkan para pelayannya untuk mencari audiensi dengan Esau dan berkata:

“Beginilah kamu katakan kepada tuanku, kepada Esau: Beginilah kata hambamu Yakub: Aku telah tinggal pada Laban sebagai orang asing dan diam di situ selama ini… dan aku menyuruh memberitahukan hal ini kepada tuanku, supaya aku mendapat kasihmu. ” (Kejadian 32:4-5)

Yakub dengan rendah hati menyebut dirinya sebagai hamba Esau (עֶבֶד, eved). Terjemahan modern “hamba” atau “pelayan” sudah benar, tetapi agak mengaburkan makna aslinya. Yakub mengakui otoritas dan kekuasaan Esau atas dirinya. Namun, ketika para utusan kembali, mereka membawa berita yang mengejutkan:

“Kami telah sampai kepada kakakmu, kepada Esau, dan ia sedang menuju ke mari, dengan diiringi empat ratus orang.”  (Kejadian 32:6)

Yakub sangat ketakutan, yakin bahwa Esau akan datang untuk membunuhnya sebagai pembalasan atas pengkhianatannya dua puluh tahun sebelumnya. Ia membagi rombongan dan harta bendanya menjadi dua kelompok, berharap setidaknya satu kelompok akan selamat dari serangan (Kej. 32:7-8). Kemudian Yakub berseru kepada Allah kakeknya, Abraham, dan ayahnya, Ishak, dengan berani memohon kepada-Nya untuk memenuhi janji-Nya untuk menjadikan keturunannya sebanyak pasir di laut (Kej. 32:9-12). Sebagai tanda pertobatan, Yakub berusaha mengembalikan berkat yang dicurinya dengan memilih hadiah ternak yang berlimpah untuk Esau:

“…dari apa yang ada padanya suatu persembahan untuk Esau, kakaknya, yaitu dua ratus kambing betina dan dua puluh kambing jantan, dua ratus domba betina dan dua puluh domba jantan, tiga puluh unta yang sedang menyusui beserta anak-anaknya, empat puluh sapi betina dan sepuluh sapi jantan, dua puluh keledai betina dan sepuluh keledai jantan.” (Kejadian 32:13-15)

Jumlah hewan-hewan tersebut dipilih dengan cermat untuk memastikan kawanan ternak Esau akan berkembang pesat, baik secara fisik maupun simbolis dengan mengembalikan berkat anak sulung yang dicurinya.

Meskipun Yakub mengkhawatirkan nyawanya dan nyawa orang-orang yang dicintainya, kepercayaannya pada janji Allah akhirnya menang. Namun, hal itu baru terjadi setelah Yakub bergumul dengan sosok misterius yang memberkatinya dan mengubah namanya menjadi Israel (Kej. 32:22-31, יִשְׂרָאֵל, Yisra’el). Pertemuan ini merupakan campur tangan Allah yang langka untuk memastikan bahwa Yakub, bapa umat Allah, Israel, tidak akan berubah pikiran tentang pertemuannya dengan Esau. Seandainya ia berubah pikiran, ia akan tetap menjadi pencuri bagi saudaranya. Utusan khusus Allah menyatakan kepada Yakub/Israel bahwa, setelah bergulat dengan Allah, mulai sekarang ia akan mengalahkan manusia. Meskipun takut, Yakub bertahan dan melanjutkan perjalanannya menuju tanah perjanjian, di mana ia akan segera berhadapan dengan saudaranya yang sangat ditakuti, Esau.

Rekonsiliasi

Tindakan Yakub mencerminkan prioritasnya:

“Maka diserahkannyalah sebagian dari anak-anak itu kepada Lea dan sebagian kepada Rahel, serta kedua budak perempuan itu. Dan ia menempatkan budak-budak perempuan itu beserta anak-anak mereka di muka, Lea beserta anak-anaknya di belakang mereka, dan Rahel beserta Yusuf di belakang sekali. Lalu ia sendiri berjalan di depan mereka, dan sujud sampai ke tanah tujuh kali, hingga ia sampai kepada kakaknya itu.”(Kejadian 33:1-3)

Bukannya bersembunyi, Yakub terus maju, membungkuk tujuh kali untuk mengakui hak Esau yang sepenuhnya dan sah atas berkat anak sulung yang telah dicurinya. Apa yang terjadi selanjutnya membuat Yakub terdiam: Esau berlari menemui Yakub dan memeluknya; ia memeluk lehernya dan menciumnya. Lalu mereka menangis bersama-sama (Kej. 33:4). Terjemahan tersebut mengaburkan beberapa pemahaman bahasa Ibrani lainnya.

Tetapi kata Esau: “Aku mempunyai banyak (רָב, rav), adikku; peganglah apa yang ada padamu.” (Kejadian 33:9)

Esau tampaknya sengaja menggunakan kata Ibrani “רָב” (rav), yang berarti “banyak” atau “berlimpah”, merujuk pada firman Tuhan yang diucapkan kepada ibu mereka, Ribka, bertahun-tahun yang lalu: “Dan anak yang lebih tua akan melayani anak yang lebih muda/atau sebaliknya (וְרַב יַעֲבֹד צָעִיר, v’rav ya’avod tza’ir)” (Kej 25:23). (Lihat bagian pertama dari kajian ini untuk penjelasan lebih rinci).

Barangkali yang paling penting, Yakub menggunakan dua istilah Ibrani yang berbeda untuk menggambarkan hadiah binatang yang diberikannya kepada Esau:

“.. jikalau aku telah mendapat kasihmu, terimalah persembahanku (מִנְחָתִי, minchati)…” (Kejadian 33:10)

Akar kata מִנְחָה (minchah) terkait dengan hadiah, persembahan, atau upeti yang diberikan kepada seseorang, sering kali dalam konteks keagamaan atau seremonial.

“Terimalah kiranya pemberian (בִּרְכָתִי, birchati) tanda salamku ini, yang telah kubawa kepadamu,…” (Kejadian 33:11)

Yakub mula-mula meminta Esau untuk menerima persembahannya (מִנְחָתִי, minchati), tetapi kemudian beralih ke “pemberian/berkat” (בִּרְכָתִי, birhati), secara eksplisit mengakui berkat yang dicuri yang kini ia kembalikan. Sayangnya, banyak terjemahan (NIV, NLT, CSB, NASB, RSV, CEB) gagal menangkap perbedaan antara persembahan dan berkat, menggunakan kata-kata seperti “hadiah” atau “karunia” sebagai gantinya (Kej. 33:11). Yang lain, seperti YLT, NKJV, ESV, dan KJV, secara akurat menggunakan kata “berkat.” Dengan melakukan hal itu, kelompok terjemahan pertama lalai untuk mengenali bahwa Yakub mempersembahkan kembali kepada Esau berkat anak sulung, yang sebelumnya telah diambil darinya.

Kesimpulan

Perjalanan hidup Yakub mengungkapkan kebenaran abadi: kasih karunia Allah mampu mengubah kesalahan terbesar kita menjadi jalan menuju pemulihan. Berkat yang ia curi dari Esau—didorong oleh ambisi anak muda dan nasihat ibunya yang keliru—tidak membawa kemakmuran atau kekuasaan yang diharapkan. Sebaliknya hal itu justru membawa pencobaan yang membentuk ulang hatinya. Melalui penderitaan itu, Yakub belajar bahwa berkat sejati tidak datang dari rencana manusia, tetapi dari janji Allah yang tidak tergoyahkan. Berkat Abraham—kehadiran Allah, keturunan yang tak terhitung, dan Tanah Perjanjian—menjadi fondasi hidup Yakub, membimbingnya melewati tipu daya, kesulitan, dan kehilangan. Dengan  tindakannya yang berani mengembalikan hak kesulungan yang dicuri kepada Esau, yang ditandai dengan pertobatan sejati, Yakub menanggalkan beban masa lalunya dan melangkah ke dalam panggilan ilahinya sebagai Israel, bapa umat Allah. Kisah Yakub menginspirasi kita untuk melepaskan ambisi egois dan menerima janji-janji Allah yang setia. Kisah ini mengajak kita untuk hidup dengan rendah hati, percaya kepada Allah yang menebus kegagalan kita, menyembuhkan luka kita, dan menuntun kita menuju masa depan yang penuh harapan, tujuan, dan kehidupan yang berkelimpahan.

Follow US
Dr. Eliyahu Lizorkin-Eyzenberg © 2025. All Rights Reserved.
Ikuti Blog Dr. Eli!
Berlangganan untuk mendapatkan pemberitahuan saat artikel baru diterbitkan.
Tanpa spam, Anda bisa berhenti berlangganan kapan saja.
Welcome Back!

Sign in to your account

Username or Email Address
Password

Lost your password?