By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Logo Logo
  • ID
    • EN
    • RU
    • HI
    • PT
    • ES
    • FR
    • DE
    • PL
  • ID
    • EN
    • RU
    • HI
    • PT
    • ES
    • FR
    • DE
    • PL
  • Beranda
  • Tentang
    • Tentang
    • Materi Gratis
  • BlogBlogBlog
    • Taurat
    • Ibrani
    • Injil
    • Rasul Paulus
    • Maria
    • Doa
    • Topik Hangat
    • Sedang dikerjakan
  • Buku
  • Konferensi
    • Israel Institute of Biblical Studies (IIBS)
    • Israel Bible Center (IBC)
Reading: Istriku, Saudara Perempuanku
Share
Logo Logo
  • ID
    • RU
    • PT
    • PL
    • HI
    • FR
    • ES
    • EN
    • DE
  • Beranda
  • Tentang
    • Tentang
    • Materi Gratis
  • BlogBlogBlog
    • Taurat
    • Ibrani
    • Injil
    • Rasul Paulus
    • Maria
    • Doa
    • Topik Hangat
    • Sedang dikerjakan
  • Buku
  • Konferensi
    • Israel Institute of Biblical Studies (IIBS)
    • Israel Bible Center (IBC)
Follow US
Dr. Eli © All rights reserved
Taurat

Istriku, Saudara Perempuanku

Menelusuri batas kasih karunia Allah dalam meresponi ketidaksempurnaan manusia

Tammy Yu
Share
SHARE

Kitab Kejadian merupakan teks fondasi bagi jutaan orang Kristen dan Yahudi di seluruh dunia, merajut narasi yang membentuk identitas spiritual dan arah hidup mereka. Intinya adalah kisah Abraham dan Sara, yang dipuji karena iman mereka kepada janji Allah (Ibrani 11:8). Namun, dibalik kisah ini terselip tiga episode yang mengganggu, yaitu kisah di mana Abraham, dan kemudian putranya Ishak, menipu para penguasa asing yang mereka takuti dengan mengatakan bahwa istri mereka adalah saudara perempuan. Dikenal sebagai “kisah istriku-saudara perempuanku”, peristiwa ini tercatat dalam Kej 12:10–20 , Kej 20:1–18, dan Kej 26:1–11. Kisah ini menantang pembaca modern dengan pertanyaan tentang norma budaya, etika kuno dan bagaimana Allah merespons kelemahan dan ketidaksempurnaan manusia.

Bagi bangsa Israel yang baru saja dibebaskan dari perbudakan Mesir, kisah yang ditulis oleh Musa ini menjadi inspirasi dan pengajaran, menghubungkan pencobaan leluhur mereka dengan pencobaan mereka sendiri saat mereka melanjutkan perjalanan 40 tahun dari Mesir ke Tanah Perjanjian. Dengan meneliti peristiwa-peristiwa ini, kita menemukan pelajaran berharga tentang hakikat perjalanan spiritual dengan segala kompleksitasnya, menawarkan kepada kita dan siapa pun yang mau mendengarkan, wawasan tentang sifat alami manusia dan anugerah Allah yang bergema sepanjang zaman.

Tiga Kisah “Istriku – Saudara perempuanku”

Kisah “istriku – saudara perempuanku” terungkap dalam tiga peristiwa berbeda, masing-masing ditandai dengan rasa takut dan tipu daya ketika berada di negeri asing.

Dalam Kejadian 12:10–20, kelaparan memaksa Abram (kemudian disebut Abraham) dan Sarai (kemudian Sara) pergi ke Mesir. Karena takut kecantikan Sarai akan membuat orang-orang Firaun membunuhnya, Abram meminta Sarai berpura-pura menjadi saudara perempuannya. Firaun, yang tidak menyadari bahwa Abram dan Sarai adalah suami istri, membawa Sarai ke haremnya, dan menghadiahi Abram ternak dan pelayan. Namun, Allah turun tangan dengan mendatangkan tulah, mengungkapkan status pernikahan Sarai yang sebenarnya dan Firaun yang murka pun mengusir mereka.

Dalam Kejadian 20:1–18, Abraham dan Sara tiba di Gerar, wilayah orang Filistin antara Jalur Gaza dan Laut Mati, mengalami deja vu. Raja Abimelekh mengambil Sara, tetapi kali ini Allah memperingatkan sang raja melalui mimpi, mencegahnya menyentuh Sara supaya tidak membangkitkan murka-Nya. Abimelekh mengembalikan Sara, memberi mereka ganti rugi dengan hadiah, dan dengan ramah mengundang mereka untuk tinggal di wilayah kerajaannya.

Akhirnya, Kejadian 26:1–11 mencatat peristiwa serupa ketika Ishak mengalami kelaparan dan pindah ke Gerar. Ia mengakui Ribka sebagai saudara perempuannya. Abimelekh, putra dari Abimelekh sebelumnya,  menemukan kebenaran ketika dia melihat Ishak menggoda Ribka, sehingga ia menegurnya, tetapi tetap menjamin keselamatan mereka. Ketiga kisah ini menunjukkan pola yang berulang: para bapa leluhur Israel, meskipun mereka memiliki iman yang besar, memilih untuk menipu karena rasa takut dan salah menilai situasi, sehingga  mempertaruhkan kehormatan istri mereka dan—terlebih lagi—kehormatan Allah. Namun, Allah senantiasa mengerti, mengampuni, dan melindungi mereka serta seluruh rombongan yang menggantungkan hidup pada mereka. Keselamatan mereka adalah tema yang menggemakan pembebasan bangsa Israel dari Mesir dan pengembaraan di padang gurun melalui berbagai peristiwa yang terjadi yang melibatkan campur tangan Allah meskipun diwarnai dengan ketidakpercayaan dan ketidaktaatan dari para mantan budak itu.

Tujuan Musa Menuliskan Kisah Ini bagi bangsa Israel

Taurat Musa memuat kisah-kisah ini untuk menginspirasi dan mengajar bangsa Israel yang baru lepas dari perbudakan Mesir selama berabad-abad. Ketika mereka mengembara di padang gurun, bergumul dengan identitas mereka sebagai umat pilihan Allah, kisah-kisah ini menghubungkan pergumulan dan kegagalan mereka sendiri dengan kisah para leluhur mereka. Dalam banyak hal, pengalaman Abraham dan Ishak mencerminkan perjalanan bangsa Israel keluar-masuk Mesir, dimana mereka juga menghadapi penindasan dari raja-raja lokal. Namun, seperti ketika Allah melindungi Sarai/ Sara dengan tulah di Mesir dan mimpi ilahi di Gerar, demikian pula Allah melepaskan tulah dan mukjizat untuk membebaskan bangsa Israel dari perbudakan, secara ajaib menemani mereka dalam pengembaraan mereka meskipun mereka banyak melakukan kegagalan (Keluaran 7–12).

Dalam pengembaraan di padang gurun, bangsa Israel berulang kali gagal dalam iman dan menyerah pada ketakutan: mengeluh tentang makanan dan air (Kel. 16:2–3), menyembah anak lembu emas (Kel. 32), menolak masuk ke Tanah Perjanjian karena laporan pengintai yang menakutkan (Bil. 13–14), hingga pemberontakan Korah melawan kepemimpinan Musa (Bil. 16). Mereka jatuh dalam penyembahan berhala dan perzinahan di Baal-Peor (Bil. 25), mengeluh soal manna (Bil. 11, 21), dan bertengkar di Meriba—di mana bahkan Musa sendiri tidak taat (Bil. 20).

Dengan menekankan kesetiaan Tuhan di tengah ketidaksempurnaan manusia, Musa mendorong bangsa Israel untuk tetap percaya pada janji-janji Allah, seperti nenek moyang mereka dan belajar dari kesalahan leluhur mereka. Meski mereka gagal, Allah tetap setia dan memimpin mereka menuju Tanah Perjanjian, seperti yang telah Dia janjikan. Dengan kata lain, kisah-kisah ini menegaskan bahwa rencana Allah untuk menjadikan mereka bangsa yang besar (Kej 12:2) akan terwujud, seperti yang terjadi pada Abraham, Ishak, dan Yakub, dengan membimbing mereka menuju Tanah Perjanjian (Kel 19:4–6).

Konteks Budaya dan Sejarah Tipu Daya

Kisah Abraham dan Ishak dalam Kitab Kejadian terjadi di masa patriarkh sekitar tahun 2000–1800 SM, pada pertengahan Zaman Perunggu. Saat itu, perjalanan jauh penuh dengan bahaya, jauh berbeda dengan pariwisata zaman modern. Perampokan dan kekerasan menjadi risiko yang umum terjadi (Kej. 14:12–14). Sebagai pemimpin semi-nomaden, Abraham dan Ishak memimpin kafilah besar—mirip dengan perkemahan suku Badui atau kaum Gipsi —untuk mencari padang rumput atau menghindari kelaparan. Gerakan mereka bisa dianggap sebagai  ancaman sekaligus calon sekutu bagi penguasa lokal, membentuk interaksi mereka dengan cara yang mendalam.

Harem dan Peran Sara

Di Timur Dekat kuno, perempuan sering dianggap sebagai properti, status mereka bergantung pada kedudukan sosial suami. Frasa bahasa Ibrani dalam Kejadian 20:3 menyebut Sara sebagai “milik suami” (וְהִיא בְּעוּלַת בַּעַל, vehi be‘ulat ba‘al), menegaskan pandangan ini, status Sara sebagai harta milik Abraham. Bagi pembaca modern, ini terasa menjengkelkan terutama karena “dosa besar” (חָטָא גָדוֹל, chata gadol, Kej. 20:9) Abimelekh bukan karena melukai martabat Sara, tetapi karena merampas milik orang lain. Kitab Kejadian menyajikan kisah-kisah ini tanpa ampun, menantang pembaca kuno maupun modern merenungkan kompleksitas moralnya.

Harem pada zaman itu bukan sekedar sekumpulan istri-istri, tetapi mereka adalah pusat kekuasaan politik. Mengambil seorang perempuan, terutama melalui pernikahan, dapat memperkuat aliansi atau memperkuat pengaruh seorang penguasa. Dalam Kejadian 12:16, pemberian hadiah dari Firaun kepada Abraham—ternak dan pelayan—menunjukkan kesepakatan diplomatik, kemungkinan untuk mengamankan kesetiaan seorang kepala suku kaya seperti Abraham. Raja-raja lokal sering membentuk aliansi semacam itu dengan banyak pemimpin untuk memperkuat otoritas mereka. Demikian pula ketertarikan Abimelekh pada Sara (Kej. 20:2) mungkin dilandasi oleh ketertarikan pribadi dan juga keinginan untuk bersekutu dengan kafilah Abraham yang makmur dan mampu secara militer.

Sara berusia sekitar 65 tahun saat berada di Mesir dan 90 tahun saat di Gerar (Kej. 17:17; 23:1)—ini memicu pertanyaan bagi pembaca masa kini. Ada dua penjelasan untuk hal ini. Pertama, Kitab Kejadian menyiratkan umur manusia saat itu sangat panjang. Abraham hidup hingga 175 tahun (Kej. 25:7), Sara sampai 127, dan silsilah dalam Kejadian 5 dan 11 mencatat usia yang mencapai ratusan tahun. Ini berarti proses penuaan lebih lambat, membuat Sara tetap menarik bahkan di usia lanjut. Usia para raja tidak diketahui. Mereka mungkin sudah tua, dan lebih memilih pernikahan strategis daripada pengalaman masa muda. Kedua, harem memiliki tujuan politis, melebihi daya tarik fisik. Status Sara sebagai “saudara perempuan” Abraham dan kaitannya dengan kekayaannya (Kej. 13:2) menjadikannya aset yang berharga untuk diajak bersekutu. Beberapa ahli berargumen bahwa klaim Abraham tentang Sara adalah saudara perempuannya mencerminkan adat Hurri kuno bukanlah tipu daya, tetapi bertujuan untuk meninggikan status istri. Namun, reaksi para raja menunjukkan bahwa tujuan Abraham memang untuk menipu demi mendapat perlindungan, bukan untuk kehormatan budaya.

Komunitas Abraham yang Nomaden

Kafilah Abraham adalah komunitas nomaden yang sangat penting. Kejadian 12:5 menyebutkan “segala harta benda yang mereka miliki dan orang-orang yang mereka peroleh,” Kejadian 13:2 mencatat kekayaannya, dan Kejadian 14:14 menyebutkan 318 orang “yang lahir di rumahnya dan terlatih dalam perang.” Perkiraan menunjukkan kelompok ini berjumlah 800–1.500 orang, dengan 40-80 tenda dan 100-300 hewan pengangkut, dan ribuan ternak, membentang sepanjang lebih dari satu kilometer saat mereka melakukan perjalanan.

Refleksi Iman dan Tindakan Abraham

Kejadian 26 menceritakan pertemuan Ishak dengan putra Abimelekh, raja baru Gerar. tetapi juga menyoroti ketaatan Abraham. Firman Tuhan kepada Ishak sangat jelas:

“Aku akan menyertai engkau dan memberkati engkau, sebab kepadamulah dan kepada keturunanmu akan Kuberikan seluruh negeri ini, dan Aku akan menepati sumpah yang telah Kuikrarkan kepada Abraham, ayahmu.. karena Abraham telah mendengarkan firman-Ku dan memelihara kewajibannya kepada-Ku, yaitu segala perintah, ketetapan dan hukum-Ku.” (Kej. 26:3–5, TB)

Jika tindakan Abraham mengakui Sara sebagai saudara perempuannya dianggap dosa — sering dilihat sebagai kebohongan dan kurang iman — Bagaimana mungkin Tuhan memuji Abraham begitu tinggi? Beberapa poin memperjelas ketegangan ini.

Hakikat Kebenaran dalam Sepuluh Perintah Allah

Alkitab menghargai kebenaran (Amsal 12:22), namun perintah kesembilan, “Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu” (Kel 20:16), secara khusus melarang kesaksian palsu di pengadilan yang merugikan orang lain. Pernyataan Abraham yang tidak sepenuhnya benar ketika menyebut Sara sebagai saudara perempuannya (Kej. 20:12) demi menyelamatkan diri, bukan untuk niat jahat, dengan demikian ia tidak melanggar perintah ini.

Tradisi rabinik pikuakh nefesh – menyelamatkan nyawa lebih diutamakan daripada sebagain besar perintah – memang muncul belakangan tetapi berakar dari Alkitab. Misalnya Rahab berbohong kepada pejabat Yerikho untuk melindungi mata-mata Israel (Yosua 2:4–6) dan dipuji karena imannya (Ibrani 11:31). Bidan Sifra dan Pua menipu Firaun demi menyelamatkan bayi laki-laki Ibrani (Kel 1:15–21) dan diberkati. Tamar menggunakan tipu daya untuk memperoleh keadilan dari Yehuda (Kej 38:13–26), dan tindakannya menghantar pada garis keturunan Mesias (Mat. 1:3). Kebohongan Abraham bahwa Sara adalah saudara perempuannya (Kej 12:12, 20:11) didorong oleh ketakutan demi menyelamatkan nyawanya dan tanggung jawabnya untuk melindungi seluruh kafilahnya ketika menghadapi bahaya yang nyata dari raja-raja asing. Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa tipu daya demi menyelamatkan nyawa dapat dibenarkan dalam situasi yang ekstrem.

Kebenaran dalam Ketidaksempurnaan

Kebenaran tidak berarti tanpa dosa. Daud, yang disebut “seorang yang berkenan di hati Allah” (1 Sam 13:14; Kis. 13:22), pernah berzinah dan membunuh (2 Sam 11), tetapi Allah menghargai penyerahan diri dan pertobatannya (Mzm 51). Iman Abraham –  ditunjukkan dengan meninggalkan Ur (Kej 12:1–4), mendoakan Sodom (Kej 18:22–33), dan terutama ketika mempersembahkan Ishak (Kej 22:1–18) –  membuatnya disebut “sahabat Allah” (Yes 41:8; Yak 2:23). Demikian pula, Hana dan Simeon, digambarkan sebagai orang benar karena penyerahan diri mereka (Lukas 2:25, 2:37), bukan karena tidak berdosa, melainkan karena setia. Pujian Allah kepada Abraham dalam Kejadian 26:5 mencerminkan kesetiaannya seumur hidup, bukan karena tidak memiliki kekurangan. Pola ini menunjukkan bahwa Allah lebih menghargai iman dan ketaatan daripada kesempurnaan.

Kesimpulan

Kitab Kejadian, fondasi bagi umat Kristen dan Yahudi, memuliakan iman Abraham dan Sara, walaupun memperlihatkan kegagalan mereka. Takut akan kehilangan nyawa mereka dan kafilahnya, Abraham dan Ishak menipu penguasa, mempertaruhkan kehormatan istri mereka. Namun Allah tetap melindungi mereka dengan tulah, mimpi, atau teguran untuk menyatakan anugerah-Nya. Bagi bangsa Israel yang baru bebas dari Mesir, kisah-kisah yang ditulis oleh Musa ini, menggambarkan pergumulan mereka sendiri dan kesetiaan Allah. Dibalut budaya patriarki, di mana perempuan dianggap sebagai properti dan harem adalah simbol politik, kisah ini menegaskan bahwa perjanjian Allah tetap bertahan di tengah ketidaksempurnaan manusia—memberikan pelajaran yang abadi tentang iman, perlindungan ilahi, dan kompleksitas perjalanan spiritual.

Follow US
Dr. Eliyahu Lizorkin-Eyzenberg © 2025. All Rights Reserved.
Ikuti Blog Dr. Eli!
Berlangganan untuk mendapatkan pemberitahuan saat artikel baru diterbitkan.
Tanpa spam, Anda bisa berhenti berlangganan kapan saja.
Welcome Back!

Sign in to your account

Username or Email Address
Password

Lost your password?