By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Logo Logo
  • ID
    • EN
    • RU
    • HI
    • PT
    • ES
    • FR
    • PL
  • ID
    • EN
    • RU
    • HI
    • PT
    • ES
    • FR
    • PL
  • Beranda
  • Tentang
  • BlogBlogBlog
    • Taurat
    • Doa
    • Topik Hangat
    • Injil
    • Ibrani
    • Rasul Paulus
    • Maria
    • Sedang dikerjakan
  • Buku
    • Buku
    • Materi Gratis
  • Konferensi
    • Israel Institute of Biblical Studies (IIBS)
    • Israel Bible Center (IBC)
Reading: Mengapa Yesus menyebut orang non-Yahudi anjing?
Share
Logo Logo
  • ID
    • RU
    • PT
    • PL
    • HI
    • FR
    • ES
    • EN
  • Beranda
  • Tentang
  • BlogBlogBlog
    • Taurat
    • Doa
    • Topik Hangat
    • Injil
    • Ibrani
    • Rasul Paulus
    • Maria
    • Sedang dikerjakan
  • Buku
    • Buku
    • Materi Gratis
  • Konferensi
    • Israel Institute of Biblical Studies (IIBS)
    • Israel Bible Center (IBC)
Follow US
Dr. Eli © All rights reserved
Injil

Mengapa Yesus menyebut orang non-Yahudi anjing?

Ucapan Yesus ini terdengar mengejutkan. Untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi, mari kita telusuri kisah ini.

Tammy Yu
Share
SHARE

Dua Injil—Markus dan Matius—mencatat sebuah perjumpaan yang menakjubkan antara Yesus, seorang rabi Yahudi, dan seorang perempuan Yunani dari daerah Tirus dan Sidon (Markus 7:24–29; Matius 15:21–28). Ini bukan sekadar pertemuan biasa. Ini adalah bentrokkan budaya, pengharapan, dan prioritas Allah, yang terjadi di sebuah wilayah yang penuh sejarah. Tirus dan Sidon, bagian dari wilayah yang dulu diundi untuk suku Asyer, tidak pernah sepenuhnya dikuasai bangsa Israel. Bahkan pada zaman Yesus, itu adalah wilayah orang kafir—orang asing, penyembah berhala, dan orang di luar komunitas perjanjian. Namun di sinilah Yesus, melangkah ke daerah perbatasan, di mana seorang ibu yang putus asa tersungkur di kaki-Nya, memohon pertolongan: “Kasihanilah aku, ya Tuhan, Anak Daud, karena anakku perempuan kerasukan setan dan sangat menderita” (Matius 15:22).

Mari kita berhenti sejenak dan merasakan beratnya tangisannya. Ini bukan permintaan biasa. Hidup anaknya hancur, dikuasai kekuatan jahat yang tak bisa ia lawan. Ia adalah seorang non-Yahudi, seorang perempuan, dan seorang ibu—berada di luar lingkaran budaya dan religius Israel. Namun ia memanggil Yesus dengan sebutan “Tuhan” dan “Anak Daud”—gelar yang penuh makna mesianik. Bagaimana ia mengenal istilah ini? Mungkin ia mendengar kabar tentang penyembuh Yahudi itu atau mungkin karena keputusasaannya mendorongnya untuk  meraih apa pun yang bisa menjadi pengharapan, sekalipun terasa asing. Apa pun alasannya, ia sepenuhnya berserah, memohon belas kasihan.

Namun apa yang Yesus lakukan selanjutnya mungkin membuat kita mengernyitkan dahi. Yesus tidak menanggapinya. Tidak sepatah katapun. Yesus sama sekali tidak menjawabnya, membiarkan permohonannya menggantung. Murid-murid-Nya yang terganggu oleh kegigihannya, mendesak Yesus untuk menyingkirkannya: “Suruhlah ia pergi, ia mengikuti kita dengan berteriak-teriak” (Matius 15:23). Ketika Yesus akhirnya berbicara, kata-kata-Nya tidaklah  menunjukkan rasa belas kasihan: “Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel” (Matius 15:24). Wah, itu penolakan yang keras — sebuah peringatan yang menegaskan bahwa misi-Nya hanyalah berfokus pada umat perjanjian Allah. Tapi perempuan ini tidak menyerah. Ia berlutut di hadapanNya, mengulang kembali permohonannya: “Tuhan, tolonglah aku!” (Matius 15:25).

Lalu tibalah bagian lebih menegangkan. Yesus menjawab dengan sebuah metafora yang terdengar kasar bagi telinga modern: “Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing” (Matius 15:26). Anjing? Benarkah Yesus tega menyebut seorang ibu yang putus asa sebagai anjing? Tapi tunggu dulu – jangan terburu-buru menilai. Konteks sangat penting dalam hal ini. Dalam budaya Timur Dekat kuno, anjing bukanlah hewan peliharaan yang dimanja seperti zaman sekarang. Mereka biasanya mengais sisa-sisa makanan, hidup di pinggiran, di luar lingkaran keluarga. Jadi Yesus tidak merendahkannya ; tetapi menunjukkan batasan. “Anak-anak” melambangkan bangsa Israel, keluarga perjanjian Allah dan “roti” adalah berkat keselamatan yang pertama-tama diberikan kepada mereka. “Anjing” mewakili bangsa-bangsa lain, orang-orang di luar keluarga iman. Ini bukan penghinaan, melainkan penegasan urutan prioritas.

Pikirkan begini: Yesus sedang menggemakan prinsip yang berulang kali muncul dalam Kitab Suci. Rencana Allah adalah selalu memberkati seluruh dunia melalui bangsa Israel. Paulus kemudian menulis bahwa Injil adalah “kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani” (Roma 1:16). “Pertama” bukan berarti “hanya,” tetapi menekankan urutan. Misi Yesus dimulai dari “domba-domba yang hilang” dari bangsa Israel, bangsa yang dipilih Allah untuk membawa janji-Nya. Perempuan ini, sebagai orang non-Yahudi, berada di luar lingkaran—setidaknya untuk sementara.

Tetapi ibu ini tidak mundur. Jawabannya begitu cemerlang: “Benar Tuhan, namun anjing itu makan remah-remah yang jatuh dari meja tuannya” (Matius 15:27). Luar biasa! Ia merujuk pada metafora Yesus, membaliknya, lalu menjawab kembali dengan iman yang sangat berani. Ia tidak menyangkali prioritas Israel. Ia tidak menuntut mendapatkan tempat di meja. Ia hanya berkata, “Baiklah, aku memang anjing. Tetapi setidaknya anjing pun mendapat remah-remah dan remah itu cukup bagiku.” Ia tidak meminta seluruh roti—hanya satu serpihan belas kasihan Allah. Dan ia percaya bahwa serpihan itu cukup untuk menyelamatkan putrinya.

Inilah titik balik kisah itu. Nada Yesus berubah, dan kita bisa merasakan kekaguman dalam suara-Nya: “Hai ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang kau kehendaki” (Matius 15:28). Dan seketika itu juga anaknya sembuh. Tanpa penundaan, tanpa syarat — mukjizat terjadi karena iman yang pantang menyerah. Namun apa yang ada dalam tanggapannya yang mengubah segalanya? Mengapa Yesus, yang beberapa saat lalu tampak begitu fokus pada bangsa Israel, kini melanggar protokol untuk menolong seorang yang non-Yahudi?

Kuncinya adalah imannya. Bukan sekedar iman biasa, melainkan iman yang sama dengan para tokoh besar Israel. Pikirkan tentang Abraham, yang berani “berdebat” dengan Allah mengenai nasib Sodom, dengan keyakinan pada keadilan-Nya (Kejadian 18:22–33). Atau Musa, yang memohon agar Allah mengampuni Israel setelah dosa karena anak lembu emas, bersandar pada belas kasihan-Nya (Keluaran 32:11–14). Perempuan ini—seorang non-Yahudi dari Sidon— menunjukkan iman yang berani untuk berdebat. Ia tidak hanya menerima kata-kata Yesus secara pasif. Ia terlibat, ia mendorong, ia percaya bahwa Allah di dalam rabi ini adalah Allah yang baik, adil, dan penuh kasih. Ia yakin bahwa secuil kuasa-Nya saja sudah cukup—dan ternyata benar.

Perjumpaan ini bukan hanya mukjizat yang terjadi sekali saja. Ini adalah gambaran awal dari rencana Allah yang lebih besar. Misi Yesus memang dimulai dari bangsa Israel, tetapi tidak pernah dimaksudkan untuk berhenti di sana. Para nabi telah menubuatkan bahwa suatu hari bangsa-bangsa akan datang kepada terang Allah (Yesaya 60:3). Mazmur menyatakan bahwa segala bangsa akan memuji Tuhan (Mazmur 117:1). Bahkan dalam Taurat, Perjanjian Allah dengan Abraham dimaksudkan untuk memberkati “semua kaum di muka bumi ”(Kejadian 12:3). Iman perempuan ini menarik masa depan itu ke masa kini, menunjukkan bahwa belas kasihan Allah sudah meluap melampaui meja Israel.

Mari kita tarik ke konteks kita. Kisah ini menantang cara kita memandang “orang dalam” dan “orang luar.” Ucapan Yesus tentang “anak-anak” dan “anjing” bukanlah soal penolakan, tetapi soal waktu dan prioritas. Rencana Allah memang bertahap, tetapi hati-Nya selalu lebih besar dari yang kita harapkan. Iman perempuan ini membuktikan bahwa bahkan mereka yang “di luar” bisa mendapatkan belas kasihan Allah jika datang dengan kerendahan hati dan percaya. Ia tidak menuntut haknya; ia bersandar pada karakter Allah. Dan Yesus, digerakkan oleh imannya, menunjukkan bahwa tidak ada seorang pun yang terlalu jauh dari jangkauan Allah.

Bagi kita, kisah ini menusuk hati. Betapa seringnya kita menyingkirkan orang tertentu seolah-olah mereka “di luar” kasih karunia Allah? Betapa cepatnya kita menjaga “roti” berkat Allah, lupa bahwa meja-Nya cukup luas untuk semua? Dan bagaimana dengan iman kita sendiri? Apakah kita cukup berani untuk terus mengetuk, terus memohon, bahkan ketika Allah sepertinya diam? Perempuan ini tidak berhenti karena Yesus diam, ditolak, atau hambatan budaya. Ia terus maju, yakin bahwa belas kasihan Allah lebih besar dari segala batasan.

Kesimpulan, peristiwa di Tirus dan Sidon ini bukan hanya tentang kesembuhan seorang anak. Ini tentang Allah yang menghargai iman, yang datang dari siapa pun. Ini tentang Mesias yang memulai misi-Nya dengan bangsa Israel, tetapi menjangkau sampai ke ujung bumi. Dan tentang seorang ibu yang mengingatkan kita bahwa bahkan secuil belas kasihan Allah cukup untuk mengubah segalanya. Kisahnya menantang kita untuk mempercayai hal yang sama.

Follow US
Dr. Eliyahu Lizorkin-Eyzenberg © 2025. All Rights Reserved.
Ikuti Blog Dr. Eli!
Berlangganan untuk mendapatkan pemberitahuan saat artikel baru diterbitkan.
Tanpa spam, Anda bisa berhenti berlangganan kapan saja.
Welcome Back!

Sign in to your account

Username or Email Address
Password

Lost your password?