By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Logo Logo
  • ID
    • EN
    • RU
    • HI
    • PT
    • ES
    • FR
    • DE
    • PL
  • ID
    • EN
    • RU
    • HI
    • PT
    • ES
    • FR
    • DE
    • PL
  • Beranda
  • Tentang
    • Tentang
    • Materi Gratis
  • BlogBlogBlog
    • Taurat
    • Ibrani
    • Injil
    • Rasul Paulus
    • Maria
    • Doa
    • Topik Hangat
    • Sedang dikerjakan
  • Buku
  • Konferensi
    • Israel Institute of Biblical Studies (IIBS)
    • Israel Bible Center (IBC)
Reading: Menguak Makna Perintah Allah Ke-enam
Share
Logo Logo
  • ID
    • RU
    • PT
    • PL
    • HI
    • FR
    • ES
    • EN
    • DE
  • Beranda
  • Tentang
    • Tentang
    • Materi Gratis
  • BlogBlogBlog
    • Taurat
    • Ibrani
    • Injil
    • Rasul Paulus
    • Maria
    • Doa
    • Topik Hangat
    • Sedang dikerjakan
  • Buku
  • Konferensi
    • Israel Institute of Biblical Studies (IIBS)
    • Israel Bible Center (IBC)
Follow US
Dr. Eli © All rights reserved
Ibrani

Menguak Makna Perintah Allah Ke-enam

Apakah membunuh itu sama dengan melakukan pembunuhan? Apakah Allah melarang mengambil nyawa orang lain?

Tammy Yu
Share
SHARE

Salah satu pertanyaan paling penting bagi mereka yang mempelajari Alkitab dengan serius adalah tentang perintah keenam dari Sepuluh Perintah Allah, yang sering dipahami sebagai larangan terhadap tindakan “membunuh.” Sekilas, perintah ini tampaknya secara mutlak melarang mengambil nyawa manusia, dan memunculkan pertanyaan etis yang kompleks, seperti dalam kasus pembelaan diri, peperangan, atau hukuman mati. Namun, jika kita menelusuri teks bahasa Ibrani lebih dalam, akan tampak bahwa perintah ini memiliki makna yang lebih spesifik, yakni membedakan antara membunuh dan melakukan pembunuhan dengan sengaja. Dengan menelaah aspek linguistik, budaya, dan teologis dari perintah ini, kita akan menemukan pemahaman yang lebih kaya yang menantang tafsiran sederhana dan mengajak kita merenungkan lebih jauh tentang keadilan, moralitas, dan maksud ilahi dalam Alkitab Ibrani.

Terjemahan tradisional dalam Bahasa Inggris terhadap perintah keenam, khususnya dalam versi King James Version yang berpengaruh, berbunyi: “Thou shalt not kill” (=”Jangan membunuh.”) (Keluaran 20:13; bdk. Ulangan 5:17). Terjemahan ini, diikuti oleh banyak versi modern lainnya (seperti ASV, ESV, NRSV), memberi kesan adanya larangan menyeluruh terhadap segala bentuk pembunuhan. Namun, kata kerja dalam bahasa Ibrani yang menjadi dasar dari terjemahan ini—רָצַח (ratsach)—memiliki makna yang lebih sempit dibandingkan kata “kill” (=membunuh) dalam Bahasa Inggris. Terjemahan yang lebih tepat adalah “Engkau tidak boleh melakukan pembunuhan,” seperti yang digunakan dalam versi NIV, CSB, dan NJPS. Perbedaan ini sangat penting: meskipun setiap pembunuhan adalah tindakan membunuh, tidak setiap tindakan membunuh merupakan pembunuhan. Dalam kerangka Alkitab, pembunuhan adalah mengambil nyawa manusia secara sengaja dan tidak dibenarkan, sedangkan bentuk pembunuhan lain bisa jadi diperbolehkan, bahkan diperintahkan dalam kondisi tertentu.

Untuk memahami nuansa ini, kita perlu menelaah kata kerja bahasa Ibrani lain yang juga berkaitan dengan pengambilan nyawa. Kata kerja הָרַג (harag), yang berarti “membunuh,” adalah istilah umum yang bisa mencakup tindakan yang dibenarkan maupun tidak. Misalnya, kata ini dipakai untuk menggambarkan tindakan Kain membunuh Habel (Kejadian 4:8), suatu bentuk pembunuhan, namun juga digunakan dalam konteks peperangan (misalnya 1 Samuel 17:50, saat Daud “membunuh” Goliat). Sebaliknya, kata רָצַח (ratsach), yang dipakai dalam perintah keenam, secara khusus mengacu pada pembunuhan yang salah secara moral dan hukum. Kata ini muncul dalam konteks seperti Bilangan 35:16-21, yang menggambarkan pembunuhan dengan niat jahat, misalnya dengan memukul seseorang menggunakan senjata sampai meninggal. Penting untuk dicatat bahwa kata “ratsach” tidak pernah digunakan untuk pembunuhan yang dibenarkan, seperti dalam kasus pembelaan diri, peperangan, atau hukuman mati yang dijatuhkan pengadilan.

Kata kerja ketiga, הֵמִית (hamit), yang berarti “menjatuhkan hukuman mati,” semakin memperjelas kosakata Alkitab mengenai pembunuhan. Kata ini sering dikaitkan dengan hukuman yang sah secara hukum atau yang diperintahkan Allah, seperti dalam kasus hukuman mati bagi orang yang berzina (Imamat 20:10) atau perintah Allah untuk menghukum mati pelanggar tertentu (Ulangan 13:9). Perbedaan antara ketiga kata kerja ini—”harag” (membunuh secara umum), “ratsach” (membunuh yang tidak dibenarkan), dan ”hamit” (mengeksekusi mati)—menunjukkan ketepatan bahasa Ibrani dalam membahas pertanyaan etika seputar menghilangkan nyawa. Penggunaan kata “ratsach” dalam perintah keenam menandakan larangan terhadap pembunuhan yang sengaja, bukan terhadap semua bentuk pembunuhan.

Wawasan linguistik ini mengubah cara kita memahami cakupan perintah ini. Torah sendiri memberikan contoh di mana pembunuhan diperbolehkan, bahkan diperintahkan, yang menegaskan bahwa larangan ini tidak bersifat mutlak. Misalnya, dalam Keluaran 22:2 disebutkan bahwa jika seorang pencuri dibunuh saat membobol rumah pada malam hari, orang yang membela diri tidaklah bersalah—ini menunjukkan hak atas pembelaan diri. Demikian pula, Bilangan 35:27 memperbolehkan “penuntut darah” untuk membunuh pembunuh yang melarikan diri dari kota perlindungan, sebagai bentuk keadilan pembalasan. Torah juga menetapkan hukuman mati untuk pelanggaran seperti pembunuhan (Kejadian 9:6; Bilangan 35:31), penyembahan berhala (Ulangan 17:2-7), dan pelanggaran hari Sabat (Keluaran 31:14). Dalam konteks peperangan, Allah memerintahkan bangsa Israel untuk memusnahkan bangsa-bangsa tertentu, seperti orang Kanaan (Ulangan 20:16-17), dan menggunakan kata kerja seperti “harag” atau “hamit”—bukan “ratsach”. Semua contoh ini menunjukkan bahwa perintah keenam melarang pembunuhan yang kejam dan tidak dibenarkan, bukan semua bentuk tindakan membunuh.

Konteks budaya dan hukum dari Timur Dekat kuno juga membantu menjelaskan perbedaan ini. Dalam kode hukum Mesopotamia dan Het, seperti Kode Hammurabi, dibedakan antara pembunuhan yang disengaja dan tidak disengaja, dengan hukuman yang berbeda sesuai dengan niat dan situasi. Penekanan Torah pada “ratsach” sejalan dengan tradisi hukum ini, yang menyoroti tindakan kekerasan yang disengaja atau lalai dan merusak keharmonisan masyarakat. Bilangan 35:22-25, misalnya, membedakan antara pembunuhan yang disengaja (ratsach) dan pembunuhan yang tidak disengaja, menetapkan hukuman mati untuk yang yang sengaja, dan perlindungan di kota perlindungan untuk yang tidak sengaja. Kerangka ini mencerminkan pemahaman keadilan yang cermat—menyeimbangkan pembalasan dengan belas kasih, dan mengakui kompleksitas tindakan manusia.

Secara teologis, perintah keenam menekankan kesucian hidup manusia, yang berakar pada keyakinan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kejadian 1:26-27). Pembunuhan, sebagai tindakan “ratsach”, merusak gambar Allah dan mengambil alih otoritas Allah atas kehidupan dan kematian. Namun, fakta bahwa Alkitab memperbolehkan beberapa bentuk pembunuhan—seperti eksekusi atau perang—menunjukkan bahwa Allah mendelegasikan otoritas kepada manusia dalam kondisi tertentu, khususnya untuk menegakkan keadilan atau melindungi umat perjanjian. Hal ini tampak dalam Kejadian 9:6 yang berbunyi “Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri,” menegaskan prinsip keadilan retributif dengan menggunakan kata kerja “shafach” (“menumpahkan”) daripada “ratsach”, yang menunjukkan konteks yang lebih luas untuk pembunuhan yang dibenarkan.

Jika kita memperluas diskusinya, perintah Allah ke-enam mengundang kita merenungkan ketegangan etis antara keadilan dan belas kasihan dalam Alkitab Ibrani. Meski Allah melarang pembunuhan, ketentuan hukum dalam Torah menunjukkan pendekatan realistis terhadap kelemahan manusia. Kota-kota perlindungan (Bilangan 35:9-15) melindungi mereka yang membunuh tanpa sengaja—menunjukkan belas kasihan—sementara hukuman mati untuk para pembunuh untuk menegakkan keadilan. Keseimbangan ini mencerminkan pengakuan Allah atas kompleksitas manusia, di mana niat, konteks, dan akibat menjadi pertimbangan moral. Perintah ini juga mendorong kita untuk mempertimbangkan bagaimana prinsip-prinsip Alkitab berlaku dalam dilema etika masa kini, seperti hukuman mati, aborsi, atau perang. Meskipun Torah memperbolehkan pembunuhan dalam kondisi tertentu, penekanan pada kesucian hidup menantang kita untuk menghadapi isu-isu ini dengan kerendahan hati dan kebijaksanaan, memastikan bahwa setiap tindakan yang menghilangkan nyawa sejalan dengan keadilan dan kehendak Allah.

Perbedaan antara pembunuhan yang disengaja dan pembunuhan yang dibenarkan juga tercermin dalam literatur Kebijaksanaan. Misalnya, Amsal 6:16-17 mencantumkan “tangan yang menumpahkan darah orang yang tidak bersalah” sebagai hal yang dibenci Allah, menggunakan kata שָׁפַךְ (shafach), tetapi menyiratkan jenis pembunuhan yang salah seperti “ratsach.” Demikian pula, Mazmur mencela kekerasan yang tidak adil (misalnya, Mazmur 94:6), menegaskan kembali kecaman Alkitab terhadap pembunuhan sebagai tindakan yang mengacaukan tatanan Allah. Semua ini menunjukkan bahwa perintah Allah ke-enam bukanlah aturan tunggal yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari kerangka etika yang lebih luas yang menghargai kehidupan sekaligus mengakui perlunya keadilan.

Bagi para pembaca masa kini, memahami kata Ibrani “ratsach” mengubah pandangan tentang perintah Allah keenam dari larangan yang sederhana menjadi panggilan yang dalam untuk menghormati kesucian hidup. Perintah ini menantang kita untuk membedakan antara tindakan yang jahat dan tindakan yang lahir dari kebutuhan atau keadilan, mendorong pendekatan yang cermat terhadap pengambilan keputusan yang etis. Perspektif ini juga mengajak kita berdialog dengan tema-tema Alkitab lainnya, seperti pengampunan dan rekonsiliasi, yang mempertemukan keadilan dan belas kasih. Misalnya, kisah Daud yang menahan diri untuk tidak membunuh Saul (1 Samuel 24) menunjukkan sikap menolak melakukan “ratsach”, meski tampaknya ada alasan untuk melakukannya, dan ini menekankan nilai belas kasih di atas pembalasan.

Sebagai kesimpulan, perintah Allah keenam, yang berakar pada kata Ibrani רָצַח (ratsach), melarang pembunuhan—yakni pembunuhan yang disengaja dan tidak dibenarkan—bukan semua bentuk pembunuhan. Penggunaan kata kerja yang berbeda seperti “harag” dan “hamit” dalam Torah, bersama dengan ketentuan hukum untuk pembelaan diri, hukuman mati, dan perang, mengungkapkan kerangka etika yang cermat, yang menyeimbangkan antara kesucian hidup dan tuntutan keadilan. Pemahaman ini, yang berpijak pada konteks linguistik dan budaya Alkitab Ibrani, menantang para pembaca modern untuk meninggalkan tafsiran yang terlalu sederhana dan menghadapi kompleksitas moralitas Alkitab. Dengan menyadari bahwa Allah melarang pembunuhan namun memperbolehkan pembunuhan dalam kondisi luar biasa, kita diundang untuk merenungkan bagaimana prinsip-prinsip ini membentuk pendekatan kita terhadap keadilan, belas kasih, dan nilai kehidupan manusia dalam dunia masa kini.

Follow US
Dr. Eliyahu Lizorkin-Eyzenberg © 2025. All Rights Reserved.
Ikuti Blog Dr. Eli!
Berlangganan untuk mendapatkan pemberitahuan saat artikel baru diterbitkan.
Tanpa spam, Anda bisa berhenti berlangganan kapan saja.
Welcome Back!

Sign in to your account

Username or Email Address
Password

Lost your password?