By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Logo Logo
  • ID
    • EN
    • ES
    • RU
    • FR
    • PT
    • HI
  • ID
    • EN
    • ES
    • RU
    • FR
    • PT
    • HI
Pembaruan Gratis
  • Beranda
  • Tentang
    • Tentang
    • Materi Gratis
  • BlogBlogBlog
    • Ibrani
    • Taurat
    • Injil
    • Rasul Paulus
    • Maria
    • Doa
    • Topik Hangat
    • Sedang dikerjakan
  • Buku
  • Konferensi
    • Israel Institute of Biblical Studies (IIBS)
    • Israel Bible Center (IBC)
Reading: Rahim Ilahi: Memahami Belas Kasihan Allah dalam Bahasa Ibrani
Share
Logo Logo
  • ID
    • RU
    • PT
    • HI
    • FR
    • ES
    • EN
  • Beranda
  • Tentang
    • Tentang
    • Materi Gratis
  • BlogBlogBlog
    • Ibrani
    • Taurat
    • Injil
    • Rasul Paulus
    • Maria
    • Doa
    • Topik Hangat
    • Sedang dikerjakan
  • Buku
  • Konferensi
    • Israel Institute of Biblical Studies (IIBS)
    • Israel Bible Center (IBC)
Follow US
Dr. Eli © All rights reserved
Ibrani

Rahim Ilahi: Memahami Belas Kasihan Allah dalam Bahasa Ibrani

Tahukah kamu bahwa kata Ibrani untuk "rahim" dan "belas kasihan" berasal dari akar kata yang sama?

Tammy Yu
Share
SHARE

Salah satu tema yang paling dalam dan sering muncul dalam Alkitab Ibrani adalah konsep “belas kasihan” Allah, yang diekspresikan dengan kata Ibrani רחם (racham). Ayat-ayat seperti Ulangan 4:31 menyatakan, “TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang penyayang (רחום; rachum),” dan Ratapan 3:32 menegaskan bahwa “belas kasihan-Nya (רחמיו; rachamav) tidak berkesudahan.” Ayat-ayat ini memberikan kesan kasih sayang ilahi, tetapi apa sebenarnya makna “belas kasihan” dalam konteks Alkitab? Apakah itu hanya rasa iba Allah terhadap manusia, atau kesediaan untuk menahan hukuman? Meskipun penafsiran itu ada benarnya, penelusuran yang lebih mendalam dalam bahasa Ibrani menyingkapkan pengertian yang lebih kaya dan bernuansa tentang belas kasihan ilahi —yang berakar pada gambaran tentang rahim seorang ibu.

Dalam bahasa Ibrani Alkitabiah, kata “belas kasihan ” (רחם; racham) berasal dari akar tiga huruf yang sama dengan kata “rahim” (רחם; rechem). Hubungan linguistik ini bukan kebetulan; ini menunjukkan bahwa belas kasihan Allah mirip dengan lingkungan yang memberikan perlindungan dan pemeliharaan yang dialami bayi di dalam rahim ibunya. Bagi orang Israel kuno, belas kasihan bukanlah sekadar emosi yang abstrak, tetapi tindakan ilahi yang nyata dengan perlindungan, perawatan, dan pemeliharaan, yang mencerminkan ikatan yang intim antara seorang ibu dan anak yang belum lahir.

Alkitab bahasa Ibrani sering memakai istilah  רחם (rechem) untuk merujuk pada rahim seorang wanita, menekankan perannya dalam penciptaan dan perlindungan. Dalam Kitab Kejadian, Allah “membuka rahim” Lea dan Rahel, memungkinkan mereka melahirkan anak (Kejadian 29:31; 30:22). Tindakan intervensi ilahi ini menegaskan bahwa rahim adalah ruang suci dimana kehidupan dimulai. Demikian juga, Mazmur 22:10 -11  merefleksikan kepercayaan pemazmur kepada Allah sepanjang hidupnya, dengan mengatakan “Kepada-Mu aku diserahkan sejak aku lahir, sejak dalam kandungan (רחם – rechem) ibuku Engkaulah Allahku.” Di sini, rahim melambangkan tempat pemeliharaan ilahi, dimana kehadiran Allah dirasakan bahkan sebelum kelahiran.

Luar biasanya, Allah juga menggunakan gambaran keibuan ini untuk menggambarkan hubungan ilahi dengan bangsa Israel. Dalam Yesaya 46:3-4, TUHAN menyatakan umat-Nya sebagai mereka “yang Kudukung sejak dari kandungan (רחם – rechem), yang Kujunjung sejak dari rahim.” Allah berjanji akan menopang bangsa Israel, dengan berkata, “Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu. Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu.” Ayat ini menggambarkan Allah sebagai orang tua yang mengasuh, menggendong bangsa Israel sejak awal penciptaan hingga keselamatan—seperti seorang ibu yang menggendong anaknya di dalam rahim dan tetap merawatnya setelah lahir.

Gambaran seperti rahim ini memberikan sudut pandang yang kuat untuk memahami belas kasihan Allah. Ketika Allah mengulurkan belas kasihan, itu adalah tindakan perlindungan ilahi,  melindungi manusia dari bahaya dan menjaga kelangsungan hidup mereka. Contoh nyata dari belas kasihan yang melindungi ini muncul dalam kisah Musa di Gunung Sinai. Ketika Musa memohon untuk melihat kemuliaan Allah, TUHAN menjawab, “Aku akan melewatkan segenap kegemilangan-Ku dari depanmu… Aku akan memberi kasih karunia kepada siapa yang Kuberi kasih karunia dan mengasihani (רחמתי; rachamti) siapa yang Kukasihani.”  Keluaran 33:19.  Segera setelah pernyataan ini, Allah melindungi Musa dengan menempatkannya di celah batu karang, menutupinya dengan tangan-Nya sampai kemuliaan Allah yang tak tertahankan itu berlalu (Keluaran 33:20–23). Dengan melindungi Musa dari pancaran kemuliaan ilahi yang mematikan, Allah menunjukkan belas kasihan sebagai kekuatan perlindungan, memastikan keselamatan Musa di saat rentannya.

Aspek perlindungan dari belas kasihan ini juga menjelaskan tentang interaksi Musa yang berani dengan Allah. Sebelumnya, Allah telah memerintahkan bahwa seorang malaikat akan memimpin umat Israel melalui padang gurun, sambil memperingatkan bahwa malaikat itu tidak akan mentoleransi pemberontakan (Keluaran 23:21). Namun, setelah menyaksikan kemuliaan Allah, Musa berani meminta kehadiran Allah sendiri, dengan memohon, “Berjalanlah kiranya TUHAN di tengah-tengah kami” (Keluaran 34:9). Musa melakukan permintaan yang berani ini dengan mengakui kelemahan bangsa Israel: “ bangsa ini suatu bangsa yang tegar tengkuk.” Menyadari kecenderungan mereka untuk tidak taat, ia memohon kepada Allah untuk mengambil bangsa Israel menjadi milikNya : “Ampunilah kesalahan dan dosa kami; ambillah kami menjadi milik-Mu!” (Keluaran 34:9).

Allah menjawab dengan perjanjian yang diperbarui, berjanji, “Sungguh, Aku mengadakan suatu perjanjian. Di depan seluruh bangsamu ini akan Kulakukan perbuatan-perbuatan yang ajaib, seperti yang belum pernah dijadikan di seluruh bumi di antara segala bangsa” (Keluaran 34:10). Perbuatan ajaib ini, termasuk penyediaan manna dan air di padang gurun, menunjukkan komitmen Allah yang penuh belas kasihan untuk menopang dan melindungi bangsa Israel meskipun mereka tidak taat. Melalui tindakan-tindakan ini, belas kasihan Allah menjadi kekuatan yang menopang dan menuntun umat-Nya menuju Tanah Perjanjian.

Tema belas kasihan sebagai perlindungan dan pemulihan muncul berulang kali dalam Alkitab Ibrani, terutama dalam konteks pembuangan bangsa Israel. Ulangan 30:3 menjanjikan bahwa setelah pembuangan, “TUHAN, Allahmu, akan memulihkan keadaanmu dan menyayangi engkau (רחמיך; richamekha), dan Ia akan mengumpulkan engkau kembali.” Demikian pula, dalam Yeremia 31:20, Allah berbicara tentang kerajaan Israel utara yang dibuang dengan emosi yang mendalam: “Anak kesayangan kah gerangan Efraim bagi-Ku atau anak kesukaan?.. sebab itu hati-Ku terharu terhadap dia; – belas kasihan (רחם; rachem) – tak dapat tidak Aku akan menyayanginya (ארחמנו; arachamenu).” Gambar yang begitu kuat ini menggambarkan belas kasihan Allah sebagai kerinduan yang mendalam baik secara mental maupun fisik untuk memulihkan dan melindungi, seperti cinta orang tua terhadap anak yang menyimpang. Janji belas kasihan di sini bukan hanya pengampunan saja, tetapi juga komitmen ilahi untuk membawa bangsa Israel kembali dan memperbarui hubungan perjanjian mereka.

Kitab Mazmur lebih jauh menyoroti sifat perlindungan dari belas kasihan Allah. Dalam Mazmur 40:11-12, pemazmur berdoa, “Engkau, ya TUHAN, janganlah menahan rahmat-Mu (רחמיך; rachamekha) daripadaku; kasih-Mu dan kebenaran-Mu kiranya menjaga aku selalu! Sebab malapetaka mengepung aku sampai tidak terbilang banyaknya.” Di sini, belas kasihan adalah perisai dari bahaya yang ada disekitarnya, sebuah kekuatan ilahi yang melindungi orang-orang beriman. Mazmur 103:13 melanjutkan metafora orang tua, membandingkan belas kasihan  Allah dengan kasih seorang ayah: “Seperti bapa sayang (רחם; rachem) kepada anak-anaknya, demikian TUHAN sayang (רחם; richam) kepada orang-orang yang takut akan Dia.” Gambaran ini memperkuat belas kasihan sebagai tindakan relasional dan pemeliharaan yang berakar pada kasih setia Allah.

Sifat belas kasihan Allah yang kekal adalah dasar utama dari teologi Alkitab. Mazmur 102:12-13 menyatakan, “Tetapi Engkau, ya TUHAN, bersemayam untuk selama-lamanya, dan nama-Mu tetap turun-temurun. Engkau sendiri akan bangun, akan menyayangi (תרחם; terachem) Sion.” Para pemazmur percaya bahwa belas kasihan Allah akan terus berlangsung dari generasi ke generasi, memberikan perlindungan dan pemeliharaan yang tak berkesudahan. Kualitas kekal ini membedakan belas kasihan ilahi dari belas kasihan manusia, yang dapat gagal atau pudar.

Dalam pemikiran orang Ibrani, belas kasihan melampaui sekadar simpati atau kemurahan hati melainkan kekuatan dinamis yang melindungi, mencerminkan keamanan rahim seorang ibu dan pengabdian orang tua yang mengasihi. Pemahaman ini mengubah cara pandang pembaca masa kini dalam memaknai konsep belas kasihan Allah. Jangan memandangnya sebagai emosi yang pasif, tetapi kita harus memahaminya sebagai kehadiran Allah yang aktif, memelihara, dan memulihkan. Musa mengalami belas kasihan ini di Sinai, merasakan tangan Allah yang melindungi. Bangsa Israel mengandalkannya selama pengembaraan mereka di padang gurun, ditopang dengan pemeliharaan ilahi. Para nabi menantikannya sebagai harapan pemulihan setelah pembuangan, dan para pemazmur merayakannya sebagai sumber penghiburan dalam masa-masa sulit.

Bagi pembaca modern, memahami akar kata Ibrani dari “belas kasihan” membuka hubungan yang mendalam dengan pengalaman bangsa Israel kuno. Ini mengajak kita untuk percaya kepada Allah yang adalah “penyayang (רחום; rachum) dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya” (Keluaran 34:6). Allah ini, seperti ibu yang melindungi anaknya atau ayah yang membimbing keluarganya, memberikan perlindungan dan cinta yang tak berkesudahan. Dengan merangkul visi alkitabiah tentang belas kasihan ini, kita dapat menemukan kepastian dalam kehadiran Allah yang memelihara kita sejak penciptaan hingga keselamatan, melingkupi kita dalam pelukan kekal rahim Ilahi.

Follow US
Dr. Eliyahu Lizorkin-Eyzenberg © 2025. All Rights Reserved.
Ikuti Blog Dr. Eli!
Berlangganan untuk mendapatkan pemberitahuan saat artikel baru diterbitkan.
Tanpa spam, Anda bisa berhenti berlangganan kapan saja.
Welcome Back!

Sign in to your account

Username or Email Address
Password

Lost your password?