Logo Logo
  • ID
    • EN
    • RU
    • HI
    • PT
    • ES
    • FR
    • DE
    • PL
  • ID
    • EN
    • RU
    • HI
    • PT
    • ES
    • FR
    • DE
    • PL
  • Beranda
  • Tentang
  • ArtikelArtikelArtikel
    • Taurat
    • Doa
    • Topik Hangat
    • Injil
    • Ibrani
    • Rasul Paulus
    • Maria
    • Sedang dikerjakan
  • Buku
    • Buku
    • Dengarkan
  • Sekolah & Kursus
    • Israel Institute of Biblical Studies (IIBS)
    • Israel Bible Center (IBC)
Reading: Rasul Paulus dan Taurat Musa
Share
Logo Logo
  • ID
    • RU
    • PT
    • PL
    • HI
    • FR
    • ES
    • EN
    • DE
  • Beranda
  • Tentang
  • ArtikelArtikelArtikel
    • Taurat
    • Doa
    • Topik Hangat
    • Injil
    • Ibrani
    • Rasul Paulus
    • Maria
    • Sedang dikerjakan
  • Buku
    • Buku
    • Dengarkan
  • Sekolah & Kursus
    • Israel Institute of Biblical Studies (IIBS)
    • Israel Bible Center (IBC)
Follow US
Dr. Eli © All rights reserved
Rasul Paulus

Rasul Paulus dan Taurat Musa

Apakah Taurat masih relevan? Jika ya, bagaimana dan dalam hal apa?

Tammy Yu
Share
SHARE

Keragu-raguanku

Ketika saya menulis tentang topik ini, saya melakukannya dengan penuh “takut dan gentar.” Alasannya karena ini merupakan tema yang sangat kontroversial, namun, karena saya telah membuka “kotak Pandora” pada bagian sebelumnya, saya tidak punya pilihan selain membahasnya lebih dalam – Apakah ada satu Hukum bagi semua orang atau tidak? Paragraf terakhir saya tertulis:

Mungkinkah Paulus membayangkan satu Taurat untuk orang Yahudi dan non-Yahudi, tetapi ada dua set hukum yang berlaku untuk masing-masing kelompok itu? Mungkinkah nanti  ‘Muslim’ dan ‘Kristen’ pada umumnya keliru (dengan menganggap bahwa hanya ada satu hukum untuk semua orang)? Mungkinkah ‘Yudaisme’, walaupun minoritas, justru benar? Satu Taurat untuk keduanya (Yahudi dan non-Yahudi), tetapi di dalam Taurat itu sendiri terdapat dua set hukum yang berlaku secara tepat bagi masing-masing.

Sebelum saya mulai, ada baiknya saya memberi semacam penegasan awal (disclaimer). Saya menghormati dan mengasihi para pengikut Kristus masa kini yang mungkin memiliki pandangan berbeda dari apa yang akan saya sampaikan dalam tulisan ini. Bagi saya, meski topik ini penting, kasih dan rasa hormat di antara para pengikut Kristus Yahudi harus tetap menjadi yang utama – seperti yang pernah dikatakan seorang teolog besar: “Jika orang Kristen berperang satu sama lain, mereka tidak boleh berperang dengan dunia!” Karena itu, anggaplah tulisan saya ini sebagai sebuah percakapan dan undangan berkelanjutan untuk merenungkan topik-topik penting ini, yang saya hadirkan dengan penuh hormat terhadap semua pihak yang terlibat.

Taurat Bukan Sekadar Hukum

Sebelum melangkah lebih jauh, kita harus terlebih dahulu mendefinisikan istilah kita. Saya mendefinisikan Taurat sebagai kumpulan dari lima kitab pertama dalam Alkitab Yahudi dan Kristen. Taurat (תּוֹרָה, torah, dalam bahasa Ibrani berarti suatu“pengajaran” atau “instruksi”) adalah karya multi-genre terutama dikaitkan dengan Musa yang di dalamnya terdapat puisi, kisah, nubuat, kesaksian, panggilan untuk beribadah, serta beragam jenis hukum.

Ketika Septuaginta – terjemahan Yunani dari Kitab Suci Ibrani – tersedia (terjemahan Kitab Taurat sudah ada jauh sebelum kitab-kitab lain dalam Alkitab Ibrani/Perjanjian Lama), para rabi Yahudi yang tinggal di wilayah berbahasa Yunani mulai menyebut Kitab Taurat dengan istilah Nomos, yang secara umum dalam bahasa Yunani diartikan “Hukum”  (meskipun ini bukan arti satu-satunya).

Apakah kata Yunani yang dipilih itu paling tepat untuk menggambarkan Taurat, hal ini masih belum jelas, namun faktanya, istilah itu sudah terlanjur melekat. Taurat dalam bahasa Yunani disebut nomos. Tetapi ketika kita membicarakan topik ini dalam kerangka terminologi modern, kita harus mempertimbangkan terminologi percakapan modern kita tentang sejarah kuno. Maka dari itu, kita harus menegaskan bahwa walaupun Taurat memang berisi hukum-hukum, Taurat  tidak bisa begitu saja dipersempit artinya hanya menjadi “hukum” dalam arti modern. Taurat bukan hanya hukum, tetapi jauh lebih kaya.

Satu Hukum dalam Kristen dan Islam

Persoalan tentang apakah Taurat Israel dapat diterapkan kepada semua orang dengan cara yang sama disebabkan oleh kemunculan agama Kristen (pada abad ke-3 hingga ke-4) dan Islam (pada abad ke-6 hingga ke-7) sebagai sistem keagamaan yang mandiri dan tertutup. Baru pada saat itulah baik umat Kristen maupun Muslim, karena sifat “universal” dari kedua agama yang baru muncul ini, menetapkan prinsip dasar bahwa– “hanya akan ada satu aturan iman dan praktik bagi setiap penganutnya.” Satu-satunya hukum ini, dalam agama Kristen dikenal sebagai Hukum Kanon sedangkan dalam Islam disebut Hukum Syariah, menegaskan fakta bahwa baik agama Kristen maupun Islam bukanlah agama suku tertentu; siapa saja dapat menjadi penganut agama Kristen atau Muslim tanpa harus mengubah budaya mereka. Iman itu tidak dimiliki atau didefinisikan sebagai kelompok tertentu, berbeda dengan yang masih terjadi di Israel (yang kemudian kita sebut sebagai orang Yahudi).

Namun, iman bangsa Israel pada zaman Yesus dan Paulus berbeda. Walaupun menerima perpindahan keyakinan dari bangsa lain, keyakinan ini tidak menganggap dirinya sebagai agama yang terpisah sampai jaman Kristen (abad ke-3-4). Menjadi bagian dari bangsa Israel tentu memiliki unsur religius yang sangat penting, tetapi itu merupakan sebuah “paket” dimana orang yang pindah agama, bukan hanya sekadar menerima “norma rohani dan doktrin.” Karena Yudaisme sudah ada berabad-abad sebelum munculnya Kristen dan Islam, bentuknya sama sekali berbeda – Yudaisme bukan sebuah agama yang berdiri sendiri, melainkan sebuah cara hidup para leluhur. Mereka yang bergabung dengan orang Israel melalui pertobatan proselit (pertobatan penuh), benar-benar hidup dengan gaya hidup orang Israel, bukan sekedar menyembah Allah Israel. Hal ini berbeda dari bentuk pertobatan dalam Kekristenan dan Islam yang hanya berfokus pada iman dan penyembahan, tanpa harus menjadi bagian dari bangsa tertentu.

Tidak Pernah Ada Satu Hukum saja untuk Semua Orang 

Yudaisme kuno juga menerima orang-orang yang datang untuk tinggal di tengah-tengah bangsa Yahudi, tetapi tidak menjalani proses pertobatan penuh (proselyte full conversion). Mereka disebut sebagai pendatang atau orang asing yang tinggal di tengah bangsa Israel (sojourners). Mereka adalah orang-orang yang memilih mempertahankan identitas etnis dan budaya mereka karena alasan tertentu baik karena pilihan maupun keadaan, mereka hidup menetap di tengah-tengah orang Israel untuk jangka waktu lama, bahkan permanen. Pada jaman Rasul Paulus, pertanyaan orang Yahudi tentang bagaimana para sojourners ini harus hidup di tengah-tengah orang Israel berkembang menjadi pertanyaan lain yang tak terduga: Bagaimana sojourners dapat hidup secara harmonis dengan semua orang Israel, sementara mereka berada dalam lingkup Kekaisaran Romawi? Inilah tepatnya pertanyaan yang diajukan dalam “konsili Yerusalem” dan dijawab dalam Kisah Para Rasul 15. Intinya, jawaban mereka adalah: “Bangsa-bangsa lain yang mengikuti Kristus Yahudi di dalam Kekaisaran Romawi harus tetap hidup sebagaimana adanya. Tidak ada perbedaan antara para pendatang yang tinggal di tengah-tengah orang Israel saja atau mereka yang tinggal di Kekaisaran Romawi.”

Hal ini sangat penting, sebab dalam tradisi Israel memang tidak pernah ada satu hukum yang berlaku bagi semua orang. Pikirkanlah: ada seperangkat hukum yang berlaku bagi seluruh bangsa Israel, dan ada perangkat hukum lain yang berlaku khusus bagi kaum Lewi. Dengan kata lain, hanya ada satu Taurat, tetapi hukum untuk orang Lewi berbeda dengan hukum untuk orang Israel lainnya.

Saya berpendapat bahwa inilah tepatnya pola pikir Rasul Paulus. Ingat, Paulus bukanlah orang Kristen, tetapi ia sendiri dengan bangga mengaku sebagai seorang Farisi Yahudi, yang dipanggil oleh Yesus sang  Mesias untuk melayani bangsa Israel dan bangsa-bangsa lain dengan cara yang sangat unik, namun tetap sebagai seorang Yahudi. Karena itu, ia berpikir sebagaimana orang Yahudi pada umumnya: bahwa ada satu Taurat, tetapi terdapat beberapa set hukum. Tidak seperti pandangan Kristen di kemudian hari, yang menekankan satu hukum untuk semua orang.

Kesaksian dalam Kisah Para Rasul 15 (ingatlah bahwa Perjanjian Baru ditulis berabad-abad sebelum Mishnah) menjadi jendela untuk memahami perkembangan ide Yahudi ini. Meskipun kita tidak akan membahas perbandingan ini secara mendetail, cukup mengatakan bahwa kesaksian dalam Kisah Para Rasul 15 menjadi jendela untuk perkembangan, terutama untuk menunjukkan kesimpulan Konsili Yerusalem ( tertuang dalam surat mereka kepada orang non-Yahudi pengikut Kristus di Kekaisaran Romawi) sejalan dengan apa yang kemudian menjadi hukum-hukum Nuh (Noahide laws), melalui perkembangan Yudaisme Rabinik. Dengan demikian, Perjanjian Baru berfungsi sebagai saksi awal sejarah dari ide-ide dan praktik yang muncul dalam Yudaisme Rabinik.

Seperti yang sudah disebutkan dalam Alkitab Ibrani, ada dua cara untuk sungguh-sungguh berkomitmen kepada Allah Israel. Yang pertama adalah seperti Rut, perempuan Moab: “Bangsamulah bangsaku, dan Allahmulah Allahku” (Rut 1 : 16). Yang kedua, seperti Naaman orang Aram, yang setelah disembuhkan di sungai Israel, menyatakan: “Sekarang aku tahu, bahwa di seluruh bumi tidak ada Allah kecuali di Israel” (2Raj. 5:15). Naaman lalu membawa tanah Israel bersamanya, supaya ia dapat menyembah Allah Israel di tengah bangsanya sendiri. Ia berkomitmen kepada Allah Israel dengan cara yang berbeda dari Rut. Secara tidak langsung ia berkata: “Allahmu akan menjadi Allahku, tetapi bangsaku tetap bangsaku.” Kedua cara itu dihormati dan diterima dengan baik dalam Yudaisme sebelum Yudaisme resmi menjadi agama (zaman Yesus dan Paulus), maupun sesudahnya, ketika ia berkembang menjadi agama yang mapan seperti Kristen dan Islam.

Paulus dan “Yudaisasi”

Salah satu gagasan yang paling membingungkan dan menentukan arah, yang sering disalahpahami dalam gereja-gereja Kristen masa kini, adalah tentang Yudaisasi (Judaizing). Paulus, seorang Farisi Yahudi yang mengakui Yesus sebagai Mesias, dengan jelas menolak Yudaisasi. Tetapi, seperti pepatah Barat: “The devil is in the details”, atau di Israel dikatakan : “God is in the details” yang berarti “Kesalahan fatal atau masalah besar justru sering muncul dari hal-hal kecil yang terlewatkan”. Kita melihat bahwa yang sebenarnya dimaksudkan Yudaisasi oleh Paulus itu sangatlah berbeda dengan pemahaman kebanyakan orang Kristen modern.

Pada zaman Paulus, Yudaisasi pada dasarnya adalah proses di mana seorang dari bangsa-bangsa lain masuk penuh dan resmi menjadi bagian dari orang Yahudi melalui proses  proselit—seperti Rut, perempuan Moab itu – tujuannya hanya satu: menjadi orang Yahudi, menjadi orang Israel sepenuhnya. Paulus, sebagai Farisi Yahudi, memahami bahwa bentuk “bergabung” seperti ini tidak lain adalah upaya untuk merusak Shema dan seluruh rencana Allah Israel. Inilah penjelasan mengapa bahasa Paulus begitu tajam dan polemis terhadap mereka yang memberitakan panggilan proselit kepada para pengikut Kristus di Galatia.

Perlu diingat, ketika Paulus menentang proselitisasi, ia tidak sedang berbicara tentang ketaatan pada Hari Sabat atau perayaan Hari Raya Israel karena itu merupakan hal yang dilakukan oleh  orang Yahudi. Sebenarnya diasumsikan bahwa praktik-praktik itu tetap berjalan, baik oleh Konsili Yerusalem maupun oleh Paulus sendiri. Sementara kita membahas perbedaan-perbedaan utama antara surat Paulus kepada jemaat di Roma dan surat yang ia tulis kepada para pengikut Kristus di Galatia di bagian terpisah, dapatlah disimpulkan bahwa argumen-argumen Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma bertujuan untuk melawan sikap anti-Yahudi yang muncul di kalangan pengikut Kristus di Roma pada awal pertengahan abad pertama. Satu hal penting: Paulus memang berhasil mencapai tujuannya melalui surat itu. Pesannya begitu jelas, sehingga Ambrosiaster dalam tafsiran nya tentang Kitab Roma pada abad ke-4 menulis:

“Telah diketahui bahwa ada orang-orang Yahudi yang tinggal di Roma pada zaman para rasul, dan orang-orang Yahudi yang percaya itu mewariskan kepada orang Roma tradisi bahwa mereka harus mengakui Kristus, tetapi tetap memelihara hukum… Mereka tidak boleh mengutuk orang Roma, melainkan memuji iman mereka, karena tanpa melihat tanda atau mukjizat dan tanpa melihat seorang rasul pun, mereka menerima iman kepada Kristus, meskipun menurut tata cara orang Yahudi.” (Mark D. Nanos, The Mystery of Romans: The Jewish Context of Paul’s Letters (Kindle Location 320) Kindle Edition).

Dalam surat Klemens yang pertama (± tahun 96 M) yang ditulis oleh jemaat di Roma kepada jemaat di Korintus, kita masih dapat melihat betapa kuat bahasa konseptual Israel yang digunakan. Paulus, dalam pelayanannya yang menghormati Taurat kepada bangsa Israel dan bangsa-bangsa lain, berhasil mengarahkan Gereja di Roma untuk menempatkan diri dalam relasi yang benar dengan bangsa Israel – yakni ada satu Taurat untuk semua orang, tetapi dengan dua set hukum: bagi bangsa Israel, dan bagi para pendatang (sojourners).

Follow US
Dr. Eliyahu Lizorkin-Eyzenberg © 2025. All Rights Reserved.
Ikuti Blog Dr. Eli!
Berlangganan untuk mendapatkan pemberitahuan saat artikel baru diterbitkan.
Tanpa spam, Anda bisa berhenti berlangganan kapan saja.
Welcome Back!

Sign in to your account

Username or Email Address
Password

Lost your password?