Sebagai seorang teolog sekaligus ahli Periode Bait Suci Kedua, saya ingin memperluas dan memperdalam penelusuran mengenai tindakan Pontius Pilatus selama pengadilan dan penyaliban Yesus, berfokus pada caranya yang halus namun mendalam yang mungkin telah dilakukannya dalam berinteraksi dengan dinamika keagamaan dan politik Yudea untuk melakukan balas dendam terhadap penguasa yang memanipulasinya. Analisis ini menggabungkan wawasan historis, budaya, dan teologis dari Periode Bait Suci Kedua (516 SM–70 M), dengan mengacu pada catatan Injil, tradisi Yahudi, dan konteks sosial-politik Yudea di bawah pemerintahan Romawi.
Konteks masa sulit Pilatus
Selama periode Bait Suci Kedua, Yudea merupakan wilayah yang bergejolak di bawah penjajahan Romawi, ditandai oleh ketegangan antara penguasa Romawi dan rakyat Yahudi, khususnya kalangan elit religius. Pontius Pilatus, sebagai pejabat Romawi di Yudea (sekitar 26–36 M), memegang otoritas besar tetapi harus menjaga keseimbangan yang rumit. Ia ditugaskan untuk mempertahankan ketertiban sekaligus mengendalikan interaksi yang kompleks antara tuntutan kekaisaran Romawi dan kesensitifan orang Yahudi. Pemuka agama Yahudi—terutama imam besar dari kelompok Saduki dan Sanhedrin—memiliki pengaruh besar terhadap rakyat Yahudi, terlebih pada perayaan seperti Paskah, saat Yerusalem dipenuhi para peziarah.
Catatan Injil (Matius 27:11–26; Markus 15:1–15; Lukas 23:1–25; Yohanes 18:28–19:16) menggambarkan Pilatus yang enggan menyalibkan Yesus karena tidak menemukan bukti yang jelas untuk hukuman mati. Namun, para pemimpin Yahudi menggunakan ancaman untuk membuat kerusuhan saat Paskah—waktu yang penuh gairah mesianik— menekan Pilatus agar patuh. Yohanes 19:12 mencatat ultimatum politik mereka: “Jikalau engkau membebaskan Dia, engkau bukan sahabat Kaisar”. Tuduhan ini sangat berbahaya, karena sedikit saja kecurigaan tidak setia kepada Kaisar Tiberius dapat mengancam posisi Pilatus, apalagi mengingat hubungannya dengan rakyat Yahudi sudah tegang (misalnya insiden “standar Romawi” di Yerusalem, dicatat oleh Yosefus dalam Antiquities of the Jews 18.55–59).
Dihadapkan pada tekanan ini, Pilatus memang menyerah, tetapi dengan tindakan perlawanan yang halus. Dua di antaranya—tulisan pada salib dan tindakan mencuci tangan—dapat dipahami sebagai langkah yang diperhitungkan, mencerminkan pemahamannya terhadap adat Yahudi sekaligus keinginannya merendahkan otoritas elit agama.
Tulisan pada Salib: Sindiran Teologis dan Politik
Tulisan yang dipasang di salib Yesus, sebagaimana dicatat dalam Yohanes 19:19–22, berbunyi dalam terjemahan: “Yesus, orang Nazaret, Raja orang Yahudi.” Titulus (prasasti) ini ditulis dalam bahasa Ibrani, Yunani, dan Latin—praktik Romawi yang lazim untuk menuliskan kejahatan orang yang dihukum. Namun, pada kasus Yesus, tulisan ini berbeda dari biasanya. Bukannya mencatat kejahatannya secara spesifik (misalnya “penghasut” atau “pemberontak”), tulisan ini justru memberikan gelar yang memiliki bobot teologis dan politis besar dalam konteks Yahudi.
Rekonstruksi bahasa Ibrani tulisan ini, Yeshua HaNotzri U’Melech HaYehudim (יֵשׁוּעַ הַנָּצְרִי וּמֶלֶךְ הַיְּהוּדִים), sangat mencolok. Seperti tertulis, huruf pertama pada setiap kata—Yod (י), Heh (ה), Vav (ו), Mem (מ)—membentuk syair akrostik yang menyerupai Tetragrammaton (YHVH), nama kudus Allah dalam Yudaisme. Pada Periode Bait Suci Kedua, Tetragrammaton diperlakukan dengan penghormatan tertinggi, dan hanya diucapkan oleh imam besar di ruang Maha Kudus pada Hari Raya Pendamaian – Yom Kippur (Mishnah Yoma 6:2). Mengaitkan nama Allah dengan seseorang yang disalibkan menjadi skandal besar bagi otoritas Yahudi, yang menganggap penyaliban sebagai kutuk (Ulangan 21:23; bdk. Galatia 3:13).
Pilihan kata Pilatus tampaknya provokasi yang disengaja. Dengan menyatakan Yesus sebagai “Raja orang Yahudi”, ia bukan saja mengejek harapan mesianik orang Yahudi, tetapi juga menyudutkan para pemimpin agama yang menolak klaim Yesus. Potensi syair akrostik YHVH semakin memperkuat hal ini, dengan menyatakan bahwa Yesus yang disalib adalah Allah—sebuah pernyataan yang akan menjadi kutukan bagi kaum Saduki dan Farisi, yang menuduh Yesus melakukan penistaan. (Markus 14:64). Yohanes 19:21–22 menegaskan interpretasi ini: ketika para imam kepala protes, mendesak Pilatus mengubah prasasti tersebut menjadi Yesus hanya mengaku sebagai raja, Pilatus menjawab, “Apa yang kutulis, tetap tertulis”. Penentangan ini menunjukkan bahwa Pilatus memang bermaksud agar prasasti tersebut menjadi sebuah penghinaan yang tajam, memaksa para penguasa untuk menghadapi implikasi peran mereka dalam kematian Yesus.
Tindakan ini sejalan dengan pola yang lebih luas dari Pilatus yang memusuhi sensitivitas orang Yahudi, seperti yang didokumentasikan oleh Yosefus (Jewish War 2.169–174) dan Filo (Embassy to Gaius 299–305). Namun, ia juga menunjukkan pemahaman yang tajam akan teologi Yahudi, tampaknya karena interaksinya dengan para elit lokal. Dengan menanamkan potensi kiasan kepada YHVH, Pilatus mengubah penyaliban menjadi pernyataan teologis—walau ia mungkin tidak sepenuhnya mempercayainya. Namun bagi orang Kristen mula-mula, prasasti ini mengandung ironi ilahi, meneguhkan identitas Yesus sebagai Mesias dan Allah yang menjadi manusia (Yohanes 1:14; Kolose 2:9).
Ritual Mencuci Tangan: Subversi terhadap Tradisi Farisi
Tindakan perlawanan yang kedua adalah tindakan Pilatus mencuci tangan, sebagaimana dicatat Matius 27:24: “Ketika Pilatus melihat bahwa segala usaha akan sia-sia, malah sudah mulai timbul kekacauan, ia mengambil air dan membasuh tangannya di hadapan orang banyak dan berkata: “Aku tidak bersalah terhadap darah orang ini; itu urusan kamu sendiri!” Dalam budaya Barat modern, isyarat ini identik dengan menghindari tanggung jawab. Namun, dalam konteks Yudaisme Periode Bait Suci Kedua, hal ini memiliki makna yang lebih dalam, terutama berkaitan dengan tradisi Farisi netilat yadayim (ritual mencuci tangan).
Pada abad pertama Masehi, ritual mencuci tangan menjadi ciri khas kesalehan Farisi, berakar pada “tradisi nenek moyang” (Markus 7:3–5; Matius 15:2). Praktik ini kemudian dikodifikasikan dalam Mishnah (Yadayim 1–2), yaitu dengan mencuci tangan sebelum makan atau melakukan tindakan penyucian untuk ritual menghilangkan kotoran. Meskipun tidak secara eksplisit diperintahkan dalam Taurat, praktik ini ditingkatkan statusnya menjadi mirip hukum, mencerminkan penekanan orang Farisi dalam memperluas hukum kemurnian di luar Bait Suci (bdk. Hagigah 2:5). Kaum Saduki, yang menguasai keimamatan, sering berselisih dengan kaum Farisi soal ini, tetapi praktik cuci tangan ini dikenal luas di kalangan orang Yahudi.
Tindakan mencuci tangan di depan umum dengan menggunakan adat Yahudi sengaja dilakukan Pilatus dengan tujuan menuding otoritas agama. Dalam tradisi Yahudi, membasuh tangan melambangkan penyucian dari kenajisan, termasuk kesalahan moral (bdk. Mazmur 26:6; Ulangan 21:6–7, di mana para tua-tua mencuci tangan mereka untuk menyatakan diri bebas dari tanggung jawab atas pembunuhan yang tidak terpecahkan). Dengan melakukan Tindakan ini, Pilatus menyelaraskan dirinya dengan logika ritual Yahudi, menyatakan dirinya tidak bersalah atas kematian Yesus, sekaligus menuding para pemimpin Yahudi sebagai pihak yang bertanggung jawab. Tanggapan orang banyak, “Biarlah darah-Nya ditanggungkan atas kami dan atas anak-anak kami” (Matius 27:25), menegaskan betapa seriusnya momen ini, karena mereka menerima konsekuensi moral dan teologis dari tuntutan mereka.
Tindakan ini sangat provokatif karena membalikkan simbol kesalehan Farisi untuk mengkritik mereka yang menjunjungnya. Pilatus, yang tampaknya memahami bobot budaya netilat yadayim karena pergaulannya dengan para pemimpin Yahudi, menggunakannya untuk mengungkap kemunafikan mereka. Para elit agama, yang membanggakan kemurnian ritual, sekarang terlibat dalam penodaan hukuman mati yang tidak adil. Tindakan pembangkangan ini tidak hanya bersifat pribadi tetapi juga politis, karena menantang otoritas moral Sanhedrin di mata orang banyak yang merayakan Paskah.
Implikasi Teologis dan Historis
Tindakan Pilatus, meski dipicu oleh tekanan politik dan kebencian pribadi, memuat makna teologis yang penting dalam narasi Kristen. Tulisan pada salib—dengan potensi syair akrostik YHVH—mengantisipasi pengakuan gereja mula-mula tentang keilahian Yesus seperti yang ditekankan dalam teks seperti Filipi 2:6–11. Demikian juga, episode cuci tangan menyoroti tema kesalahan dan tanggung jawab, yang berulang dalam kisah Sengsara (Kisah Para Rasul 4:27–28; Ibrani 9:14). Bagi umat Kristen mula-mula, rincian ini menekankan paradoks salib: momen ketidakadilan manusia menjadi titik tumpu penebusan Allah.
Secara historis, wajar jika Pilatus mengenal adat Yahudi. Gubernur Romawi sering mengandalkan informan lokal dan bergaul dengan pemimpin agama untuk menjaga stabilitas. Masa jabatan Pilatus selama sepuluh tahun di Yudea memberinya banyak kesempatan untuk mempelajari praktik seperti netilat yadayim dan makna Tetragrammaton. Tindakannya mencerminkan penggunaan pengetahuan ini secara strategis untuk menegaskan dominasinya atas para musuhnya, bahkan saat ia menyerah pada tuntutan mereka.
Kesimpulan
Peran Pontius Pilatus dalam penyaliban Yesus adalah perpaduan yang rumit antara tekanan, perlawanan, dan ironi. Dengan merancang tulisan yang berpotensi memuat nama Allah dan melakukan ritual cuci tangan yang berakar pada tradisi Yahudi, Pilatus melancarkan balas dendam yang halus namun tajam terhadap otoritas Yudea yang memanipulasinya. Tindakan ini, yang berasal dari konteks budaya dan religius Yudaisme Bait Suci Kedua, memperlihatkan seorang gubernur yang merupakan pion dalam drama yang lebih besar sekaligus peserta aktif dalam membentuk simbolisme peristiwa itu. Bagi orang Kristen, detail ini menyingkap misteri salib, dimana rencana manusia dan tujuan Allah bertemu untuk menggenapi keselamatan.